PARLEMENTARIA.COM– Badan Pengkajian MPR RI menggelar seminar nasional ‘”Evaluasi Pelaksanaan UUD NRI Tahun 1945″. Evaluasi tersebut dilakukan karena setelah 20 tahun pasca reformasi (1998 – 2018) banyak kalangan yang menghendaki perlunya haluan negara atau semacam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang dijalankan pada pemerintahan Orde Baru.
“Ada juga yang ingin Kepala Daerah kembali DPRD karena maraknya politik uang (money politics), Pilpres oleh MPR RI, kejelasan kedudukan DPD RI dan lain-lain,” ungkap Ketua Pengkajian MPR RI Rambe Kamarulzaman di Kompleks Parlemen, Senayan Jakarta, Jumat (30/11).
Hadir Sekjen MPR RI Ma’ruf Cahyono, Kepala Pusat Penelitian Politik LIPI Syamsuddin Haris, Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudi Latif, Ujianto Singgih, Sri Sundari dari IQRA (Indoensian Qualitatif Research Assosiation) dan lain-lain.
Pada kesempatan itu, Ma’ruf menjelaskan jika amandemen UUD NRI 1945 sejak 1999 menghasilkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI, Mahkamah Konstitusi (MK), kajian Tap-Tap MPR, mengusulkan kewenangan DPD RI dan terakhir 2014 – 2019 menghasilkan Badan Pengkajian MPR RI yang diketuai oleh Rambe Kamarulzaman.
Badan pengkajian MPR RI menetapkan Panitia Ad Hoc (PAH) 1 yang membidangi haluan negara, dan PAH 2 membidangi rekomendasi, dan terakhir MPR RI berwenang melakukan sosialiasi empat pilar MPR RI, dan pengkajian terhadap sistem tata negara dengan mengakomodir aspirasi masyarakat.
Karena itu, kata Ma’ruf, MPR menggelar seminar sekaligus menyerap aspirasi masyarakat secara aktif sekaligus mendapat masukan masyarakat untuk penataan sistem tata negara dengan konsep yang ideal.
“Selanjutnya apakah sistem tata negara ini sudah sesuai dengan aspirasi masyarakat, dan sesuai pula dengan cita-cita founding fathers? Jadi, masih ada kegalauan dengan GBHN dan Pancasila. Untuk itu perlu dikaji untuk menjadi satu sistem tata negara yang ideal,” demikian Ma’ruf Cahyono. (art)