Polhukam

Usaha Kurangi Saingan 2019, Sohibul Pecat Loyalis Anis

PARLEMENTARIA.COM– Aksi ‘bersih-bersih’ Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mohamad Sohibul Iman terhadap loyalis Anis Matta dengan jalan melakukan pemecatan terhadap sejumlah Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) tidak terlepas dari usaha yang bersangkutan mengurangi saingan dari kalangan internal untuk maju sebagai calon presiden atau wakil presiden pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Seperti diketahui, Shohibul Iman dan Anis merupakan dua dari sembilan elite Partai dengan lambang Bulan Sabit Setangkai Padi ini yang berancang-ancang maju pada pilpres 2019. Selain Anis Matta, juga ada nama Mardani Ali Sera, Hidayat Nurwahid, Ahmad Heryawan, Irwan Prayitno dan Salim Segaf Al-Jufri.

Dari sekian calon dari PKS, Anis Matta tampaknya menjadi pesaing berat Sohibul Iman. Dari sekian kandidat, Anis paling masif melakukan sosialisasi. Spanduk, baliho, bahkan billboard ukuran besar menyebar di hampir semua kota/kabupaten dengan mengusung slogan #AranBaruIndonesia.

Kemunculan Anis Matta menjadi fenomenal. Minggu (8/4), Anis meresmikan jaringan relawan Anis Matta Pemimpin Muda (AMPM) di Denpasar, Bali. Acara itu dihadiri lebih dari 1.000 massa mengenakan berkaos seragam hitam.

Belakangan muncul nama Mardani Ali Sera. Bahkan kemunculan Mardani dengan slogannya ‘#2019GANTIPRESIDEN’ mengundang reaksi dari Presiden Joko Widodo. Beberapa kali dalam acara TV One termasuk saat Indonesia Lawyer Club (ILC), kader PKS ini dengan tegas menyebutkan bahwa Jokowi bisa ditumbangkan. Malah dia menyebut, 2019 ganti Presiden.

Mardani lebih banyak melakukan sosialisasi melalui media sosial (medsos) serta penggalangan dukungan lengkap dengan atribut kaos, gelang dan topi. Meski masuk dalam bursa capres PKS, tetapi Mardani tidak terang-terangan mengenalkan dirinya sebagai capres.

Nama besar lain adalah Hidayat Nurwahid yang saat ini menjadi Wakil Ketua MPR RI. Sedangkan Ahmad Heryawan maupun Irwan Prayitno terlihat dari aksi sosial yang mereka lakukan. Begitu pula dengan Sohibul Iman dan Salim Segaf Al-Jufri sebagai Ketua Majelis Syuro PKS.

Fakta ini mengundang pertanyaan banyak kalangan. Kenapa hanya Anis dan Mardani yang tampil? Lalu kenapa ada aksi pembersihan loyalis Anis? Tidak mudah menggali jawabannya, karena umumnya pengurus PKS enggan dan bahkan ada yang takut berkomentar.

Anggota DPR RI yang juga politisi senior PKS, Mahfudz Siddiq saat dihubungi Parlementaria.com, Senin (9/4), punya pendapat tentang dua pertanyaan di atas.

“Anis dan Mardani adalah dua sosok dari sembilan capres PKS yang disebut media massa punya keberanian menantang Jokowi pada Pilpres mendatang. Bedanya, Mardani dengan gerakan #2019GANTIPRESIDEN, sementara Anis melalui gerakan #ArahBaruIndonesia. Capres PKS yang lain nampaknya tidak manuver wacana dan gerakan. Entah apa sebabnya,” kata wakil rakyat dari Dapil Jawa Barat VII itu.

Ditanya apakah kontestasi hanya terjadi antara Anis dan Mardani, mantan Ketua Komisi I DPR RI ini menampiknya. “Kalau bicara hajat atau keinginan, setidaknya 4-5 orang yang ingin kontestasi. Masing-masing mungkin punya cara dan kartu yang berbeda,” kata anggota Komisi IV DPR RI ini.

Misalnya, lanjut Mahfudz, yang menjabat gubernur akan gunakan kartu ‘kepala daerah’, yang menjabat presiden atau pimpinan majlis syuro juga akan pakai kartu ‘pimpinan tinggi partai’. Yang mantan menteri, bisa jadi pakai kartu pengalaman di pemerintahan.”

Ditegaskan, kontestasi itu harus dilihat di atas dan di bawah permukaan. Kalau di atas permukaan yang nampak hanya Anis dan Mardani. Namun, bila diselami, ada kontestasi keras diantara empay- lima calon lainnya.

Kenapa tidak dikerucutkan sembilan calon kepada satu nama saja, Mahfudz mengaku, tidak tahu persis. Menurut dia, urusan sembilan kandidat capres ini agak remang-remang. “Banyak pengurus partai, apalagi kader tidak mengetahui mau dikelola seperti apa dan dibawa kemana dan dimana pula ujungnya,” ungkap Mahfudz heran.

Wasekjen DPP PKS era partai itu dipimpin Anis Matta mengatakan, mengerucutkan sembilan calon ke satu nama tentu ada syarat dan konsekuensinya. Pertama harus jelas dulu proyeksi partai koalisi dan pasangan calonnya. Apa paslonnya dengan Jokowi, Prabowo atau sosok baru di luar keduanya.

“Ini sangat penting diketahui dan bakal menjadi bagian dari strategi pemenangan nantinya. Kedua, syarat yang harus dipenuhi calon tersebut, dari sisi kompetensi dan kapabilitas. Ini juga sama pentingnya,” tegas dia.

Digali lebih jauh, cerita Mahfudz, beredar informasi bahwa saat terjadi komunikasi pimpinan Gerindra dan pimpinan PKS tentang koalisi 2019. Dalam komunikasi itu, dibahas tentang komitmen pendanaan pemenangan dari paslon yang diajukan kedua partai tersebut jika berkoalisi.

“Nah, hal semacam ini kan harus jelas juga. Karena kalau ngak jelas, jangan-jangan tiket dibeli orang lain. Kalau itu yang terjadi, yah sembilan capres PKS hanya jadi pajangan di etalase saja.”

Lebih jauh Mahfudz mengungkapkan keheranan dia kenapa sampi sekarang tidak ada mekanisme atau forum untuk sembilan capres tersebut memaparkan visi-misi, strategi-agenda dan daya dukung pemenangannya.

“Dengan begitu, kader PKS dan juga masyarakat luas serta partai calon koalisi bisa tahu bobot kemampuan dan elektabilitas masing-masing calon. “Ini yang saya maksud proses sembilan capres PKS itu remang-remang,” sindir dia.

Lalu kenapa harus ada aksi pembersihan loyalis Anis di PKS? Dalam catatan redaksi setidaknya telah terjadi penggantian Ketua DPW Jawa Tengah, Ketua DPW Sumsel dan Ketua DPW Sulteng. Dan kabarnya akan ada pergantian beberapa DPW lainnya.

“Saya heran penggantian semacam itu bukan tradisi organisasi di PKS. Pergantian mendadak dan sepihak, tanpa alasan dan prosedur yang jelas seperti diatur AD/ART. Dalam ingatan saya, sejak awal berdiri partai ini 1999, baru pada era ini terjadi penggantian pengurus secara dadakan dan pemecatan kader dalam jumlah yang terus bertambah.”

Menurut Mahfudz yang sudah tiga periode dipercaya menjadi wakil rakyat dari daerah pemilihan Cirebon dan Indramayu ini, tindakan pemberhantian dan pemecatan yang santer diopinikan sebagai pembersihan loyalis Anis mendapat perlawanan. Bahkan mereka berusaha mengikuti jejak Fahri Hamzah yaitu melalui jalur hukum.

“Sah dan wajar saja. Kalau ada pihak yang merasa dizhalimi lalu menggugat secara hukum. Kan itu bagian dari hak warga negara. Partai secara organisasi harus tunduk kepada hukum negara,”

Menurut dia, mekanisme hukum negara melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau melalui hukum acara perdata bahkan pidana, sebagai jalur pembuktian keabsahan suatu tindakan atau keputusan menurut hukum nasional. “Kalau PKS mau ganti presiden, artinya harus siap jadi presiden Indonesia sebagai negara hukum. Jadi PKS harus ikhlas diuji tindakan dan keputusannya oleh hukum negara,” ulas alumnus FISIP UI 1990 ini.

Menurut Mahfudz, tindakan penggantian dan pemecatan orang-orang yang disebut sebagai loyalis Anis lebih merupakan ‘permainan keras’ kontestasi diam-diam dalam pencapresan di PKS.

“Setahu saya, kalau ada pengurus atau kader yang terlibat sebagai relawan atau tim pemenangan Anis, pasti berurusan dengan sanksi yang dimulai dari teguran, peringatan, penggantian hingga pemecatan. Terlalu banyak contoh kalau harus saya sebutkan.”

Ditanya pendapatnya tentang dampak dari kondisi ini terhadap PKS, Mahfuz terdiam cukup lama. “Saya khawatir di PKS ada yang tidak pernah berfikir tentang ini/ Karena pikiran awalnya yang tertanam dan menancap dalam adalah Anis sebagai ancaman. Ancaman yang harus dilenyapkan sampai ke akar-akarnya. Dengan berbagai cara,” kata Mahfudz prihatin dengan kepengurusan PKS periode ini..

Pilkada 2018 di depan mata. Pemilu 2019 tinggal 365 hari lagi. Apakah PKS akan menghabiskan hari-hari itu dengan mengganti dan memecat kader sendiri? “Jangan-jangan karena bicara terbuka begini, saya pun akan segera masuk daftar.” ungkap dia.

Menurut dia, ‘permainan’ kontestasi diam-diam pencapresan di PKS sangat keras. Segala cara dipakai. Saya salut dengan Mardani dan Anis yang tampil terbuka. Juga Ahmad Heryawan yang mulai keliling sosialisasi. Kalau tampil dan terbuka maka permainan ini bisa dilihat dan dikontrol banyak orang. Ada fairness. “Jangan sampai PKS sudah hancur-hancuran tapi di ujung, tiket pilpres malah dibeli orang lain,” demikian Mahfudz Siddiq. (art)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top