
JAKARTA – Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak akan berusia lama atau bisa jatuh jika tak mampu melakukan perubahan-perubahan signifikan untuk rakyat, seperti menstabilisasi harga-harga bahan kebutuhan pokok.
“Menjelang setengah tahun pemrintahan Jokowi-JK relatif mengecewakan rakyat, meski investor senang karena menaikkan harga BBM. Tapi, mayoritas rakyat kecewa dengan naiknya harga kebutuhan pokok, akibat salah menejemen atau korupsi, kolusi, dan nepotisme-KKN,” tegas pakar ekonomi Rizal Ramli menanggapi hasil survei Indo Barometer, di Jakarta, Senin (6/4).
Dia mencontohkan harga beras yang masih tidak terkendali dan Bulog tidak agresif membeli dan memasok beras dari petani ke pasar, sehingga petani juga kecewa. Harga beras dari Rp 7.500,- menjadi Rp 11.500. “Ini sebagai permainan spekulan, kartel yang belun tertanggulangi oleh pemerintah sendiri. Padahal, kalau harga beras dan sembako ini terus tidak terkendali, pemerintah bisa jatuh,” ujarnya.
Begitu juga dengan kebijakan pemerintah menaikkan tarif listrik, harga gas, dan produk BUMN lainnya, karena semua pemasok BUMN itu KKN dan atau salah menejemen, di mana kerugian BUMN selama ini juga akibat KKN. “Seharusnya tidak langsung secara bersamaan. Kalau hanya bisa menaikkan harga gampang menjadi pejabat. Jadi, kaji dulu ada KKN atau tidak di BUMN itu,” tegas Rizal Ramli.
Kemudian sambung Rizal Ramli, ditambah lagi dengan kualitas menteri yang KW2 dan KW3, sehingga kebijakan yang dibuat banyak yang bersifat eksperimental, tak mampu menyelesaikan masalah dan sebaliknya menuimbulkan masalah baru.
“Saya sudah ke Singapura di mana para investor mengeluh dengan kebijakan menteri yang eksperimental itu. Jadi, kalau kebinet kerja selama ini kerja untuk siapa? Bukankah pada masa penjajahan Belanda dan Jepang juga kabinet kerja? Sebaiknya kabinet itu diganti menjadi kabinet Trisakti,” tambahnya.
Namun demikian dia berharap pasca 6 bulan pemerintahannya ini menjadi titik balik agar Jokowi-JK kembali ke riilnya, yaitu ekonomi Trisakti dan Nawacita yang dijanjikan. “Bukannya Nawa-citra, dan akhirnya popularitasnya kalah dengan Cita-Citata,” pungkasnya.
Sementara Ketua DPD RI Irman Gusman dengan nada yang sama mengatakan, tingkat kepuasan masyarakat terhadap kinerja Presiden Jokowi sebesar 57,5 % merupakan early warning bagi Pemerintahan Jokowi-JK.
Mestinya masa enam bulan awal dan tingginya frekuensi pertemuan, merupakan masa bulan madu bagi pasangan tersebut. “Angkat 57 % harusnya masa pemerintahan sudah dua tahun. Ini (peringatan-red) sangat serius. Harusnya masa enam bulan ini, di atas 75 %,” katanya.
Irman juga sepakat agar pemerintahan Jokowi-JK untuk evaluasi kinerja kabinetnya. “Ibarat permainan sepak bola, pandangan Indo Barometer telah menunjukkan titik terang benderang. Sisi mana yang lemah, sisi yang perlu dipindahkan, siapa yang harus diganti dan siapa yang tetap di posisinya. Kalau Jokowi-JK bisa melakukannya, maka bisa memperbaiki kinerja enam bulan ke depan, ” kata senator asal Sumbar itu.
Masih Transformasi
Pada kesempatan yang sama, Direktur Megawati Institute Arif Budimanta menyatakan, kurun waktu enam bulan merupakan proses transformasi struktural untuk memperbaiki keadaan secara fundamental khususnya bidang ekonomi.
Namun ia menilai hasil survei Indo Baromenter, memiliki korelasi positif high cost economy dengan persoalan rakyat. “Saat ini pemerintahan sedang memberikan lemak-lemak yang ada kemarin, seperti APBN yang memiliki belanja modal infrastruktur Rp300 triliun atau terbesar selama 10 tahun terakhir, ” ujarnya.
Arief berpendapat, hasil survei terhadap pemerintahan Jokowi-JK tak pelak menimbulkan shock. Tapi dia meyakini secara perlahan-lahan akan ada proses pelandaian. “High cost economy belum turun, KKN masih diselesaikan. Ini butuh waktu dan hasilnya bisa didiagnosa baru di semester kedua tahun 2015, ” katanya. (chan)