JAKARTA – Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) Prof Dr Farouk Muhammad mengapresiasi kelahiran beleid yang mengukuhkan mekanisme pemilihan kepala daerah secara langsung.
“Kita bersyukur polemik mekanisme telah berakhir. Saya mengajak semua pihak untuk mengawal setiap tahapan pemilihan agar prosesnya melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas, memiliki kompetensi dan integritas,” kata senator asal NUsa Tenggara Barat (NTB), di Jakarta, Senin (23/2).
Guru besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) dan Universitas Indonesia (UI) ini mengingatkan kualitas setiap tahapan pemilihan karena proses pembentukan UU ini tidak terlepas dari kepentingan politik masing-masing partai di DPR RI untuk memenangkan pemilihan kepala daerah (pilkada).
“Hasilnya kita terima sebagai konsensus politik yang tentu saja dalam pelaksanaanya harus dilakukan secara jujur, adil, dan bermartabat agar pilkada melahirkan pemimpin daerah yang berkompeten dan berintegritas dalam melaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah,” Farouk berpesan.
Menurutnya, DPD RI yang berpartisipasi dalam proses pembahasan mengusulkan sejumlah aturan progresif antara lain pelaksanaan pilkada serentak, mencegah politisasi birokrasi oleh petahana, dan uji publik bakal calon.
Mengenai pelaksanaan pilkada serentak, dia menyatakan, Pilkada serentak mendorong efisiensi biaya dan sumber daya, selain itu merupakan upaya untuk mendorong koherensi pemerintahan daerah dengan siklus perencanaan dan penganggaran nasional.
Oleh karenanya, lelaki kelahiran Bima, 17 Oktober 1949, ini mengingatkan agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bekerja keras guna menindaklanjuti UU ini melalui aturan teknis penyelenggaraannya, mengingat pilkada serentak gelombang kesatu dihelat bulan Desember 2015.
Untuk politisasi birokrasi oleh petahana, Farouk mengapresiasi aturan progresif untuk mencegahnya. Kesatu, calon yang memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan, dan/atau garis keturunan dengan petahana di suatu daerah, tidak dapat mencalonkan dirinya kecuali jeda satu periode setelah masa jabatan petahana.
Kedua, petahana tidak melakukan penggantian pejabat dan tidak memanfaatkan program/kegiatan pemerintah daerah minimal enam bulan sebelum masa jabatannya berakhir. Jika melanggarnya, petahan bersangkutan dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon.
Aturan ini penting untuk mengoreksi langgam buruk yang terjadi di hampir setiap pilkada. Politisasi birokrasi selama ini merusak dua aspek, yaitu menodai pelaksanaan pilkada yang jujur dan adil; serta menciderai netralitas birokrasi dan pelayanan publik untuk seluruh rakyat.
Ihwal uji publik bakal calon, Farouk menyesalkan penghapusan tersebut karena sesungguhnya uji publik bermaksud untuk mengakhiri oligarki partai dan pola rekrutmen calon kepala daerah yang hanya berbasis kekuatan dana dan popularitas semata. Kendati begitu, anggota Panitia Seleksi (Pansel) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini mengingatkan agar partai mengajukan calonnya yang berkualitas dengan melibatkan dan mengafirmasi harapan publik.
“Jika penghapusan uji publik dilakukan untuk melanggengkan oligarki (elit) partai dalam menetapkan calon, ini namanya simalakama demokrasi. Semoga tidak demikian,” katanya. (chan)