
JAKARTA – Wakil Ketua Umum DPP PAN Drajad Wibowo mengatakan, jika pemilihan ketua umum partai dilakukan secara aklamasi cenderung menjadikan partai makin solid. Sebaliknya, kalau dilakukan melalui voting atau dengan pemungutan suara, cenderung melahirkan partai sempalan, konflik dan pecah.
“Justru pemilihan aklamasi selama ini menjadikan partai makin solid, dan sebaliknya yang dipilih melalui voting cenderung melahirkan partai sempalan. Anehnya partai sempalan itu semuanya gagal, kecuali sempalan partai Golkar. Seperti Gerindra, Hanura, dan NasDem,” kata Dradjad Wibowo dalam diskusi ‘Trend Aklamasi dan Regenerasi Kepemimpinan Parpol’ bersama Sekjen DPP Gerindra Ahmad Muzani, Wakil Ketua Umum Demokrat Max Sopacua, dan pengamat politik CSIS Philip Vermonte di Gedung DPR RI Jakarta, Senin (12/1).
Dradjad menyontohkan Golkar yang melahirkan Hanura, Gerindra dan NasDem. Ketiganya berhasil masuk parlemen. Tapi pecahan PDIP (PDP, Pelopor, PNI Marhaen, dll), PPP melahirkan PBR, PBB, PKB melahirkan PNU dan PKNU, juga PAN melahirkan PMB, terbukti semuanya gagal total masuk parlemen. “Itu fakta, dimana ketum-nya dipilih dengan voting,” ujarnya.
Kenapa pecahan Golkar masih masuk parlemen? menurut Dradjad, karena tokoh Golkar banyak, dan tidak terpaku pada satu orang figur seperti partai yang lain. “Artinya, kalangan aktivis partai dihadapkan pada banyak pilihan tokoh, bukan satu tokoh. Tapi, kalau Demokrat terpecah-belah seperti sekarang ini berbeda akar-masalahnya,” tambahnya.
Namun demikian, pihaknya tidak bisa menentukan apakah aklamasi lebih dari voting. “Kalau soal regenerasi itu akan berjalan secara alamiah yang dibingkai dengan aturan internal partai masing-masing seperti AD/ART. Baik dari pusat, provinsi sampai cabang partai. Yang pasti, regenerasi itu tidak bisa didekte dari luar,” ungkap Dradjad.
Sejauh itu agar terwujud partai yang modern, Dradjad dan Philip sependapat jika harus mendorong kelas menengan dan berpendidikan untuk terlibat aktif dalam politik, agar partai tidak tergantung pada satu figur, oligarkis, dan berlangsung lebih demokratis. “Kuncinya kelas menengah dan berpendidikan harus terlibat aktif di politik, sehingga akan makin baik dan demokratis. Bahwa politik itu bukan sesuatu yang kotor dan najis,” pungkas Dradjad.
Sedangkan menurut Ahmad Muzani, parpol di Indonesia tergantung pada tiga hal; yaitu ketokohan, jaringan dan dana. “Sesungguhnya ketokohan bisa melakukan tiga hal tersebut sekligus, dan selama ini politik kita masih tergantung tokoh. Sehingga tokoh itulah yang membangun jaringan sekaligus mendatangkan uang untuk partai. Terbukti Gerindra, sejak berdirinya 2007 dan akibat ketokohan Prabowo terus dibangun, maka di pemilu 2014 suaranya naik tiga kali lipat atau 270 %. Karena itu, partai akan selalu berusaha menjaga popularitasnya,” katanya.
Sementara itu Max Sopacua mengatakan, Demokrat mempertahankan SBY karena suara Demokrat masih cenderung. Karena itu SBY sebagai tokoh yang akan dipilih pada Kongres Demokrat mendatang.
“Ini semata untuk mencari pemersatu partai. Siapapun boleh nyalon, tapi kalau bukan pemersatu, ya sama dengan membuang garam ke laut. Bahwa SBY itu menyatukan seluruh stack holder dan elemen partai,” ujarnya.
Philip Vermonte menjelaskan, saat ini partai belum melakukan reformasi internal agar menjadi lebih demokratis. “Parpol belum bisa membangun demokrasi dan ideologi. Seharusnya partai itu diikat oleh ideologi dan bukan oleh figur. Sehingga, kalau figur Ketum partai berganti, maka partai akan tetap eksis dan solid, karena partai terikat dengan ideologi,” ungkapnya.
Karena itu dia mendukung ditingkatkannya subsidi untuk partai, agar partai konsentrasi kepada program dan kegiatan yang harus dikerjakan termasuk membangun demokrasi dan mensejahterakan rakyat.
“Jadi, bagaimana pun aklamasi itu tidak demokratis, karena menghadang para kader baru yang akan tampil. Maka tak heran, kalau karir kader di partai itu hanya sampai Sekjen. Apalagi tidak punya uang,” pungkasnya. (chan/mun)