PARLEMENTARIA.COM – Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Bawaslu lebih aktif merespon segala kecurangan yang disampaikan oleh masyarakat, jangan hanya sekali kali saja. Bila perlu, harus ada juru bicara atau petugas yang stand by (siap) setiap saat untuk menjelaskan ke publik.
“Harus ada jubir yang siap dan duduk 24 jam ngadapin wartawan, ngetik di sosial media dan sebagainya. Tapi yang saya perhatikan, web site nya KPU juga Bawaslu nggak melakukan itu. Pada hal yang bekecamuk itu di sosial media. Ini harusnya dijawab langsung,” kata Fahri Hamzah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (24/4/2019).
Menurut Fahri, kekisruhan dalam pelaksanaan pemilu ini juga menjadi evaluasi presiden sebagai pengusul atas perubahan UU Pemilu dan Parpol, juga bahan evaluasi bagi parpol yang tidak inpenden atas kepentingan-kepentingan jangka pendek, yang dari awal merancang sistem pemilu ini berlubang.
“Maka kita harus berjanji pada diri kita sendiri bahwa kita tidak akan legi mendesain sistem pemilu yang begini kacau dan rusak. Cukuplah ini yang terakhir,” pungkas tegas Fahri Hamzah.
Fahri juga mengungkapkan keprihatinannya banyaknya jumlah korban meninggal pasca pelaksanaan pemilihan umum. Dia menilai kejadian tersebut bukan lah hal yang wajar, mengingat banyaknya korban yang meninggal dan jatuh sakit.
“Itu nggak normal. Orang dikasih kerjaan, terus sampai meninggal ratusan itu nggak normal loh. Jangan dianggap normal. Peristiwa ini sangat memprihatinkan,” katanya.
Menurut Fahri tidak ada di dunia ini, di negara demokrasi mana pun pemilu yang memakan korban hingga ratusan orang meninggal dunia, ribuan yang sakit seperti pemilu di Indonesia ini. Bahkan, sampai ada korban sosial berupa disintegrasi yang mengaga, ada korban ekonomi karena harus mengeluarkan dana lebih dari 26 triliun, juga korban politik yang tidak stabil dalam kurun yang begitu lama.
“Jadi korban yang begitu besar ini harus segera diakhiri. Ini terjadi akibat adanya kesalahan sistemik dalam cara kita menata regulasi dan kelembagaan pemilu, serta juga kultur daripada petugas pemilu kita,” cetusnya lagi.
Kendati bukan di Komisi II DPR dan tidak ikut membahas Undang-Undang Pemilu dan Partai Politik (Parpol), namun Fahri menilai kalau kejadian yang tidak normal tersebut akibat sistem yang sejak awal diterapkan dalam Undang-Undang Pemilu itu salah disain, sehingga korbannya banyak.
“Nah, karena itu sebetulnya yang diperlukan adalah kearifan dari kita semua untuk mengakhiri problem yang terulang dalam setiap Undang-Undang Pemilu kita,” kata inisiator Gerakan Arah Baru Indonesia (GARBI) itu.
Sebab, kata Fahri, UU Parpol dan Pemilu selalu dibahas diujung, tanpa investigasi menyeluruh tentang bagaimana sebuah disain sistem yang lubangnya itu tidak ada. Sehingga kalau orang mau melakukan satu kesalahan dalam sistem itu, tidak bisa karena sudah ditutup.
“Sekarang bagaimana coba? 813 ribu TPS itu, orang disuruh saksi masing-masing. Dan sudah saya cek, ternyata orang ini nggak sanggup membayar saksi, sehingga banyak sekali TPS yang tidak imbang. Di situlah ruang permainannya,” sebutnya. (chan)