PARLEMENTARIA.COM – Kembalikan hak-hak sipil boemipoetra. Demikian tema Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia yang digelar di Jakarta, Jumat (29/3/2019). Kongres dengan melibatkan peserta dari 34 provinsi, masing-masing lima orang dan ditambah keterlibatan 15 raja dan sultan dari Aceh hingga Papua itu akan berakhir Minggu (31/3/2019).
Sejumlah tokoh nasional hadir pada pembukaan kongres yang pertama kali digelar itu, antara lain MS Kanan selaku salah satu inisiator Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia , mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto, mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan KeamananTedjo Edhy Purdijatno, mantan Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, dan Prof. Dr. Mubarok dari akademisi.
MS Kaban menjelaskan, unntuk mewujudkan Kongres Boemipoetra Nusantara Indonesia itu prosesnya cukup panjang dan cukup lama. Dimulai dari dialog, diskusi dan seminar yang hampir dilakukan di seluruh penjuru tanah air membicarakan persoalan boemipoetera atau pribumi yang memang memerlukan satu lembaran tersendiri dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
“Kenapa demikian? Karena ada satu situasi seakan-akan kata pribumi itu adalah sesuatu yang menakutkan, sedangkan kata-kata bumiputera adalah sangat melembutkan. Padahal bumiputera dan pribumi adalah sesuatu subjek yang sama dan harus memiliki peran yang signifikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,” kata Kaban.
Kegiatan kongres itu dilaksanakan hari Jumat alasan Kaban, karena disesuaikan momennya dengan hari dibacakannya teks proklamsi Kemerdekaan Indonesia. “Saya memang mencoba hanya untuk mengingatkan kita semua bahwa 74 tahun yang lalu ketika teks proklamasi dibacakan pada hari Jumat dan hari ini kita menyelenggarakan Kongres Boemipoetera. Mudah-mudahan ini membawa keberkahan bagi seluruh kita untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujar Kaban.
Secara institusional, jelas Kaban, membangun institusi itu bukanlah sesuatu yang gampang menyatakan kemerdekaan. Hal-hal yang berhubungan dengan pemindahan kekuasaan belum tuntas selama 74 tahun karena banyak tokoh-tokoh banyak, suku-suku banyak raja-raja, banyak sultan-sultan yang mendukung kemerdekaan Indonesia belum diselesaikan.
“Setelah merdeka sepertinya persoalan pesan pemindahan kekuasaan ini belum diselesaikan secara institusional. Ini merupakan satu pokok persoalan yang perlu kita pikirkan. Perubahan Undang Undang Dasar 1945 yang menghilangkan kata-kata Indonesia asli harus segera dikembalikan kepada kesepakatan semula,” kata Kaban.
Sementara itu, Max Sopacua selaku panitia kongres menjelaskan bahwa Kongres Boemipoetera dimulai pra kongres di lima provinsi. Pertama adalah di Makassar, Sulawesi bulan Maret 2018. Kemudian dilanjutkan dengan pra kongres di Daerah Istimewa Yogyakarta, Padang, Sumatera Barat, Medan, Sumatera Utara dan di Jawa Timur.
“Bumiputera ini lahir dari sebuah ketidaktahuan terhadap hak dan kewajibannya sebagai pemilik nusantara, pemilik bumi dan air di republik Indonesia tercinta ini. Hari ini kita membuat Kongres Bumiputera, kita ingin bumiputera berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan siapa saja yang ada di republik ini,” tegas Max.
Dijelaskan, bumiputera adalah organisasi masyarakat, organisasi independen dan organisasi yang tidak berpolitik. Politik dari bumiputera adalah politik negara. “Siapapun yang akan berkuasa di republik ini, bumiputera harus mendapat tempat yang layak dalam pemerintahan,” tegas Max.
Max juga menyinggung Inpres 26 tahun 1998 tentang tidak bolehnya mempergunakan kata pribumi. Melalui kongres itu, akan kembali menggunakan kata pribumi. “Selama ini kita kena peraturan dengan Inpres 26 tahun 1998 tentang tidak boleh mempergunakan nama pribumi. Kembali kita pergunakan kata pribumi karena pribumi diakui oleh UNESCO, salah satu lembaga di PBB,” jelasnya. (chan)