PARLEMENTARIA.COM – Pengamat Politik Voxpol Center, Pangi Syarwi Chaniago menilai, bangsa Indonesia, baik dari kalangan umat Islam dan dari agama apapun tidak perlu diajari lagi soal toleransi. Apalagi orang Muhammadiyah dan Nadhlatul Ualama (NU) karena soal toleransi ini sudah clear.
“Saya pikir kita tidak perlu kita ajari lagi soal toleransi. Kalau mereka kita ajari toleransi tentang keberagaman maka kita mundur lagi, kita akan jauh tertinggal dari negara lain. Kita masih debat tentang kebhinnekaan, tentang kebudayaan dan tentang ke-Indonesiaan, sementara negara lain majunya di luar biasa. Nah ini yang membuat kita agak mundur sedikit,” Pangi Chaniago.
Hal tersebut disampaikan Pangi Chaniago dalam diskusi ‘Merawat Kebhinekaan Indonesia’, di Media Center Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (4/3/2019) dengan pembicara lainnya Masinton Pasaribu (anggota Fraksi PDIP MPR RI) dan Nabil Haroen (dari PBNU).
Ipang, begitu dia akrab disapa mencontoh kehidupan yang penuh toleransi di Sumatra Barat. Daerah yang mayoritas berpenduduk Islam begitu menghormati dan menghargai serta melindungi kelompok minoritas. Di jalan protokol di Kota Padang lebih banyak ditemui gereja dari pada masjid.
“Tidak ada yang namanya radikal. Saya lahir di sana merasa biasa aja. Justru masyarakatnya, budaya lapaunya, budaya diskusinya, tradisi dialektikanya terbangun dengan baik. Jadi tidk mudah melakukan sikap-sikap ekstrimisme itu,” ujar Ipang.
Hanya saja Ipang melihat adanya penomena yang agak aneh ketika Islam dengan nasionalisme dibenturkan. Seperti ada yang membenturkan antara nasionalisme dengan Islam. Bahkan dia merasakan ada yang menghadap-hadapkan antara Pancasila dengan anti Pancasila. Di sana Pancasila di sini nggak, aku Pancasila kamu nggak Pancasila.
“Pertanyaannya sampai kapan kita harus mengklaim seperti ini. Di satu sisi kita menstempel dan disana radikal , di sana tidak toleran di satu sisi di sini juga di stempel bawa ini sangat jauh dari nilai-nilai Islam. Jadi dihadap-hadapkan antara Pancasila dengan tidak Pancasila, antara nasionalisme dengan radikal. Ada yang merasa paling nasionalis, ada yang merasa paling Islam. Jadi ini dibenturkan secara terus-menerus antara kelompok yang merasa paling nasionalis dengan kelompok yang paling islam,” katanya.
Pada hal kata Ipang, negara ini dibangun atas dasar Ketuhanan Yang Maha Esa, Undang Undang Dasar dan nilai nilai agama , nilai nilai do’a. “Jadi kalau ada kemudian membenturkan antara nasionalisme dengan Islam, yang merasa paling nasionalis dam paling merasa Pancasila. Ini berbahaya, karena hal ini sudah clear di sidang BPUPKI,” tegas Ipang.
Sedangkan Mansinton menegaskan bahwa dasar konsensus berbangsa dan bernegara para pendiri bangsa ini adalah negara bukan berdasar atas agama, Berketuhanan dan berkebudayaan, negara semua buat semua. Artinya, memang sejak awal negara ini didesain untuk semua, baik berbagai suku, adat istiadat yang berbeda, bahasa yang berbeda, keyakinan dan agama yang berbeda.
“Maka kita sesungguhnya tidak mengenal menjadikan agama-agama menjadi besar penduduknya itu menjadi warga negara kelas 2, semuanya sama, karena memang dasar negara ini didirikan semua buat semua. Tentu bagi kami berpandangan, apapun itu, baik Muhammadiyah dan NU bagian dari pemilik saham terbesar buat bangsa ini, punya kewajiban untuk menjaga bagaimana bangsa ini langgeng dengan prinsip prinsip kebangsaan, negara semua buat semua,” ujanya.
Sementara itu Nabil melihat akhir-akhir ini ada upaya segelintir orang yang ingin membuat polarisasi di negeri yang ining menggoreng dan memecah belah kebhinnekaan.
“Harus kita akui, akhir-akhir ini banyak bermunculan upaya-upaya yang dilakukan oleh segelintir orang untuk membuat polarisasi di negeri ini. Tidak hanya saat Pilpres. Mereka ingin menggoreng dan memecah- belah kebhinekaan yang sudah ada ini. Misalnya yang Islam pengen bikin kotak sendiri kemudian yang Kristen di kotak sendiri, Katolik dan lain. Mereka mengharapkan supaya terjadi benturan-benturan,” ujarnya. (chan)