PARLEMENTARIA.COM– Debat putaran pertama calon presiden-calon wakil presiden (capres-cawapres) yang digelar Komisi Pemilihan Umum (KPU) di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, pekan lalu paling memalukan dalam sejarah kegiatan ini.
KPU, kata pengamat politik sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, sepertinya tidak punya malu dan beban moral memberikan tontonan yang tidak mendidik padahal hajatan ini memakan biaya tidak sedikit.
Dengan arugumentasi mau menjaga martabat atau wibawa capres-cawapres, KPU membuat terobosan paling “gila” sepanjang sejarah, memberikan bocoran atau kisi-kisi pertanyaan sebelum debat dilaksanakan.
Dikatakan, jauh sebelum debat dilaksanakan, publik sudah mencium adanya aroma yang tidak sedap. Berbagai cara serta sarana dimanfaatkan untuk menyuarakan kritik dan masukan baik dari NGO, kelompok kepentingan dan penekan. Namun, KPU sepertinya menutup rapat telinganya atau budek akan hal tersebut.
KPU sepertinya lupa, lembaga ini adalah penyelenggara pemilu yang tidak hanya melayani dan mengakomodir kepentingan peserta tetapi juga harus mampu mengagregasi atau mengartikulasi kehendak publik sebagai pemilih yang juga punya hak untuk mendapatkan informasi cukup komprehensif melalui debat berkualitas.
Dikatakan Pangi, KPU juga tidak selayaknya merendahkan diri dihadapan tim sukses yang terkesan over protektif terhadap jagoannya masing-masing. “Sikap akomodir level over dosis ini membuat KPU berpotensi melanggar aturan pemilu dengan mereduksi debat sebagai salah satu model kampanye, sehingga publik tidak mendapatkan informasi memadai tentang kandidat sebagai bahan pertimbangan masyarakat untuk menentukan pilihannya.
Menurut pengajar ilmu politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah itu, KPU belakangan dihadapkan pada banyak persoalan yang membuat lembaga ini seperti linglung, bahkan terkesan gagap menghadapi persoalan dan kritik dari publik.
Karena itu, jelas Pangi, KPU fokus saja pada teknis pemilu seperti kesiapan logistik dan penyelenggaraan pemilu sampai ke tingkat TPS. Untuk debat publik serahkan saja pada ahlinya.
Banyak pihak dan lembaga kredibel yang bisa diajak kerjasama, sebut saja kampus, lembaga penyiaran publik (tv dan radio), NGO bahkan organisasi mahasiswa juga sanggup melaksanakan debat publik yang jauh lebih berkualitas dan berkelas dibandingkan debat capres-cawapres bercita rasa cerdas cermat, pakai kisi kisi/contekan yang diselenggarakan KPU demi menjaga wibawa dan martabat paslon.
“Kita ingin debat pilpres kedua ingin berselancar dengan narasi dan pikiran yang genuine. Karena itu, publik harus tahu kedalaman isi kepala paslon 01 dan 02, maka harus mampu menelanjangi isi kepala masing-masing paslon,” kata laki-laki kelahiran Sijunjung, Sumatera Barat ini.
Tidak ada lagi kisi kisi/hentikan bawa contekan dan tablet, singkirkan meja podium debat, ngak usah dikasih waktu pakai menit menit segala, biar saja mengalir, orasi dengan jalan pikiran liar paslon, host/moderator hanya membuka, panelis langsung bertanya dengan peryanyaan yang punya daya kejut.
Biarkan saja masing-masing paslon berpetualang dengan otak dan pikiran sendiri, silahkan untuk saling memotong dan menyanggah, sehingga suasana menjadi hidup serta cair karena adanya interaksi antar kandidat.
Selain itu, suporter juga tidak perlu hadir. “Biarkan saja masing-masing paslon adu narasi dan imaginasi, karena kita tidak sedang menilai jumlah tepuk tangan dan yel-yel yang paling ramai tapi rakyat ingin tahu program paslon dan kemampuan mereka mengurai problem fundamental di republik Indonesia,” demikian Pangi Syarwi Chaniago. (art)