PARLEMENTARIA.COM – Majelis Nasional Forhati menilai kehidupan politik sepanjang tahun 2018 masih berlangsung pembiaran friksi yang mengarah kepada konflik golongan di tengah masyarakat yang terkesan sangat mendiskreditkan umat Islam.
“Pembiaran tersebut berbahaya bagi pemahaman atas hakekat Persatuan Indonesia sebagai ruh integrasi dan integritas nasional,” demikian Refleksi Akhir 2018 Forhati yang disampaikan Koordinator Presidium Majelis Nasional Forhati Hanifah Husein, di Jakarta, Jumat (28/12/2018).
Akibatnya, proses konsolidasi demokrasi tidak berjalan sebagaimana mestinya, terutama karena berkembang secara massif benturan pemahaman tentang hakekat kebangsaan, yang terkesan hendak memisahkan dimensi ke-Indonesia-an dan ke-Islam-an.
“Padahal, sejarah menunjukkan bahwa dimensi kebangsaan yang bertumbuh sejak awal abad ke 20 (sekurang-kurangnya sejak 1905) bertegak di atas esensi nilai ke-Indonesia-an, ke-Islam-an, dan kebudayaan yang beragam. Dimensi kebangsaan itulah yang tercermin dalam Pancasila yang menawarkan nilai religius, kemanusiaan, kebangsaan, demokrasi kerakyatan, dan keadilan,” papar Hanifah.
Dari aspek hukum sepanjang 2018, Forhati menilai pemerintah terkesan belum sepenuhnya memusatkan perhatian pada penegakan hukum berkeadilan. Kebijakan- kebijakan pemerintah dinilai masih terkesan tidak adil dan tebang pilih dalam memperlakukan masyarakat.
“Penegak hukum cenderung disibukkan oleh kasus-kasus tertentu, seperti ujaran kebencian yang multitafsir dan berdampak pada penurunan daya kritis masyarakat dalam berpartisipasi aktif korektif karena saluran aspirasi yang tersumbat dan tidak netral,” kata Hanifah didampingi Sekjen Majelis Nasional Forhati Jumrana Salikki.
Begitu juga di bidang pemberantasan korupsi, Forhati menilai aksi pemberantasan korupsi cenderung belum menjangkau akar masalah yang sebenarnya. “Kita dapat menyaksikan kasus-kasus keadilan yang terjadi, seolah-olah keadilan adalah milik orang kuat dari sisi apapun,” tegasnya.
Dari aspek ekonomi, sepanjang tahun 2018 Forhati menilai berlangsung berbagai persoalan asasi ekonomi yang menyeret bangsa ini ke dalam silent crisis yang tidak cukup kuat menghadapi beragam fakta brutal berupa fluktuasi perekonomian dunia yang dalam banyak hal menggoyahkan kekuatan moneter, dan berujung pada kondisi perekonomian bangsa secara keseluruhan.
“Pemerintah nyaris tak pernah mengemukakan secara terbuka neraca keuangan negara yang memungkinkan diterbitkan dan diberlakukannya berbagai kebijakan fundamental ekonomi, terutama terkait dengan penanaman modal asing (Foreign Direct Invesment), utang luar negeri pemerintah dan utang swasta yang ditanggung pemerintah,” urainya.
Terkait kebijakan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, Forhati menilai belum sepenuhnya terasakan bermanfaat langsung oleh seluruh rakyat, belum juga dapat dirasakan dampak kesejahteraannya. “Di lapangan justeru terjadi penurunan kemampuan ekonomi masyarakat termasuk penurunan daya beli,” ujarnya. (chan)