PARLEMENTARIA.COM– Hampir dua bulan sudah kampanye baik pemilu legislatif maupun pemilihan presiden dilakukan tetapi belum satu juga dari dua pasangan calon presiden-wakil presiden (capres-cawapres) baik itu petahana maupun penantang menawarkan gagasan atau program mereka bila nanti dipercaya rakyat berkuasa.
Kampanye, kata pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk pada acara diskusi di Populi Centre, Jakarta, Kamis (15/11) masih diwarnai ‘perang’ jargon, ‘Perang’ jargon itu antara lain tempe setipis kartu ATM, politik sontoloyo, gonduruwo dan wajah Boyolali.
Dikatakan laki-laki berdarah Minang kelahiran Padang Panjang, 21 Maret 1966 tersebut, kampanye yang ditampilkan masing-masing pasangan calon tidak substantif.
“Kampanye hanya diisi dengan jargon-jargon politik. Padahal waktu yang tersedia seharusnya dimanfaatkan atau diisi dengan adu program serta gagasan berbasis data akurat,” kata psikolog tersebut.
Pengajar ilmu psikologi di salah satu universitas terkemuka di Indonesia itu menilai, tidak ada alternatif kebijakan yang ditawarkan masing-masing pasangan calon.
Misalnya, kubu petahana atau Jokowi-Ma’ruf yang sudah lebih empat tahun berkuasa, tidak menyebutkan kepada pemilih apa yang menjadi gagasan atau program alternatif yang akan dilakukan lima tahun kedepan seandainya dia kembali berkuasa.
Demikian pula dari kubu Prabowo Subianto-Sandiaga Salahudin Uno (Prabowo-Sandi) sebagai penantang petahana. Menurut Hamdi, kritik yang dilakukan harusnya berdasarkan data dan fakta sehingga kedua kubu seolah-olah tidak ada bedanya.
“Lalu pada akhirnya menyerang karakter calon yang sifatnya personal karena itu yang membedakan kedua kubu. Nyaris tidak ada beda antara kedua kubu dari sisi program,” kata Hamdi.
Menurut dia, demokrasi mengharuskan seseorang atau kelompok berkompetisi karena jabatan terbatas maka terjadilah legitimasi diri sendiri dan deligitimasi lawan politiknya.
Menurut Hamdi yang dikukuhkan 2010 sebagai guru besar Fakultas Psikologi UI tersebut, untuk kubu penantang harus deligitimasi petahana dengan mengkritik, menyanggah dan berargumen terkait kebijakan yang dijalankan pemerintah.
“Cara yang paling beradab untuk mendelegitimasi lawan adalah delegimasi kebijakannya, serang kebijakannya. Semua argumen dikeluarkan untuk mendelegitimasi, baik visi misi gagasan, itu yang paling bermartabat.”
Dia menduga, kampanye yang dilakukan dalam pilpres tidak menggunakan metode deligitmasi politik yang mengkritik lawan politiknya termasuk berdebat terkait visi misi dan program.
Hamdi menilai politik deligitimasi itu terhormat. Namun, apabila mengkritisi kebijakan dengan data palsu, itu menjadi tidak terhormat misalnya 99 persen rakyat Indonesia hidup pas-pasan tetapi akhirnya dibantah Bank Dunia. “Lalu akhirnya delegitimasi gagal karena datanya ‘hoaks’ lalu menyerang karakter orang dengan data hoaks seperti tuduhan PKI.”
Dalam kampanye politik, kata Hamdi, adu retorika dan jargon merupakan hal yang biasa. Namun, dia meyarankan agar jargon yang dilontarkan para pasalon harus mendidik masyarakat karena kita menginginkan politik Indonesia bermartabat. (art)