PARLEMENTARIA.COM – Hukum Adat sebagai hukum yang berlaku dan berkembang dalam lingkungan masyarakat di suatu daerah, keberadaannya tidak dapat diabaikan. Namun saat ini, banyak perguruan tinggi yang membuka fakultas hukum mulai meninggalkan mata kuliah hukum adat.
Padahal, itu bertentangan dengan konstitusi Pasal 18 b UUD 1945, yang intinya negara mengakui dan menghormati kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya. Demikian dikemukakan Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin Makasar, Prof. Dr. Suriyaman Mustari disela seminar hukum di Bandung, Selasa (13/11).
“Menghapus mata kuliah hukum adat dari kurikulum merupakan “inskonstitusional”, atau bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan,” tegas Suriyaman.
Menurut dia, Direktorat Perguruan Tinggi (Dikti), seyogianya tegas dalam memberi sanksi terhadap perguruan tinggi hukum yang telah menghapus mata kuliah tersebut, karena melawan konstitusi,” katanya.
Menurut Suriyaman, amandemen Pasal 18b UUD itu merupakan pemikiran dari para tokoh reformasi yang prihatin dengan pekerkembangan hukum nasional yang cenderung “kebarat-baratan” dan bersifat individual. Para tokoh reformasi itu ingin mengembalikan jati diri bangsanya.
Dengan demikian, katanya, menghapus kurikulum hukum adat bukan hanya melawan konstitusi, tetapi juga mereduksi jati diri bangsa Indonesia. “Para pengajar hukum adat yang akan menghapus mata kuliahnya, seyoginya meninjau ulang pemikiran itu agar tidak merugikan keinginan mahasiswa yang ingin mendalami masalah-masalah adat di masa depan,” katanya.
Seminar yang diselenggarakan Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) bekerjasama dengan FH Univ Parayangan, Bandung mengambil tema “Inovasi Pembelajaran Hukum Adat Berbasis KKNI,” dan dihadiri hampir semua pengajar hukum adat perguruan tinggi negeri dan swasta se Indonesia. Seminar yang di buka oleh Inspektur Jenderal Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Perguruan Tinggi, dibuka oleh Rektor Univ Parahyangan, Mangadar Situmorang, PhD, yang juga mengusulkan agar hukum adat dijadikan bagian dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI), terhadap para mahasiswa dan pengajar.
Prof. Dr. Catharina Dewi Wulan Sari, Guru Besar Univ Parahyangan menambahkan, pendidikan tinggi adalah jenjang pendidikan yang mencakup program diploma, program sarjana, program magister, program doktor, dan program profesi, serta program spesialis, yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi.
Dalam pendidikan tinggi, kualitas sumber daya manusia menjadi kunci keberlangsungan dan pencapaian kualitas pendidikan. Bekal ilmu pengetahuan tanpa keterampilan akan menurunkan daya saing para lulusan di era globalisasi ini.
Oleh karenanya, civitas akademika harus memahami pentingnya faktor keterampilan yang harus dimiliki baik oleh dosen maupun mahasiswa. Untuk itu, kurikulum perguruan tinggi harus disesuaikan dengan apa yang disebut sebagai KKNI, yang didalamnya juga menyerap hukum adat.
Sementara itu, Ketua Umum Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia, Dr. Laksanto, menambahkan, APHA akan segera mengirim surat ke Menteri Pendidikan Tinggi Riset dan Tehnologi, untuk tetap mempertahankan kurikulum hukum adat pada fakultas hukum, tetapi juga mengajak kerjasama dengan Komnas HAM dan Lembaga Bantuan Hukum lainnya untuk melakukan advokasi terhadap masyarakat adat yang tanahnya tergusur oleh para pengusaha atau pengembang. (KS)