PARLEMENTARIA.COM – Media adalah sarana paling penting dalam proses berjalannya demokrasi di era reformasi saat ini. Ruang yang dibuka seluas-luasnya ini menjadi medium menyampaikan informasi dan gagasan terkait situasi sosial politik yang tak dirasakan saat era orde baru. Namun, media dalam kontestasi politik kini disinyalir banyak yang bertindak tidak independen atau partisan, hal itu dianggap sebagian orang telah mencederai proses demokrasi.
Atas latar belakang tersebut, Biro Pemberitaan Parlemen bekerjasama dengan Koordinatoriat Wartawan Parlemen menggelar diskusi Dialektika Demorasi bertajuk ‘Menjaga Independensi Media Jelang Pilpres 2019’ di Media Center DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis, (08/11/2018). Hadir sebagai narasumber diantaranya Anggota Komisi I DPR RI Effendi Simbolon, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo dan pengamat politik Bonny Hargens.
Effendi mengungkapkan bahwa peran media di era demokrasi tak terhindarkan dan sebuah keniscayaan. Hampir tidak mungkin seorang politisi tidak menggunakan media sebagai saluran untuk menyuarakan gagasannya, meski demikian berpandangan bahwa masing-masing individu pun telah menjadi agen media, melalui media sosial.
“Sekarang ini kan hakikatnya tiap orang bisa jadi media, Sehingga tidak lagi media bergerak secara linier, sekarang kan orang tidak lagi berkiblat ke media mainstream, karena sudah sangat banyak media sosial sebagai sumber mendapat informasi,” ungkap Effendi.
Legislator PDI-Perjuangan itu juga menuturkan guna mengatur independensi media konvensional sangat sulit, karena Dewan Pers tak punya kewenangan banyak terkait hal tersebut. Dewan Pers lebih punya kewenangan dalam memverifikasi media, bukan untuk memberikan penyelidikan terhadap media yang dianggap partisan.
Sementara itu, Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengungkapkan bahwa Dewan Pers tidak bisa menjadi hakim dalam mengusut media yang partisan, karena Undang-Undang (UU) tidak mengamanatkan itu. Dewan Pers pun juga memiliki keterbatasan anggaran ditiap tahunnya. Pada tahun 2019 saja Dewan Pers hanya mendapatkan anggaran Rp 19 miliar.
Hal senada diungkapkan oleh pengamat politik Bonny Hargens yang mengungkapkan bahwa media kini menjadi sarana transformasi yang membedakan antara abad 20 dan 21. Jika pada abad 20, media lebih difungsikan sebagai alat menyampaikan informasi, namun pada abad 21 media lebih difungsikan sebagai alat untuk menyampaikan framing informasi. Maka tak heran jika antara media yang dimiliki oleh politisi memiliki sudut pandang atau framing yang berbeda dalam menyampaikan informasi.
“Ini jadi tugas berat bagi seluruh pihak karena wartawan yang meliput pun juga tidak punya kewenangan dalam menyajikan framing berita. Karena framing berita lebih dipengaruhi oleh redaktur pelaksana atau pemimpin redaksi. Setelah menyampaikan paparan dari masing-masing narasumber, diskusi dilanjutkan dengan kegiatan tanya jawab antara hadirin dengan narasumber. (chan)