PARLEMENTARIA.COM – Anggota DPD RI Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas mengatakan, keterwakilan perempuan di parlemen cenderung menurun. Pada hal keterwakilan perempuan di legislatif, baik DPR maupun DPD diperlukan agar bisa menyuarakan kepentingan kaum perempuan.
“Keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif diperlukan agar kepentingan perempuan tersuarakan dalam penyusunan kebijakan, program, terlebih soal anggaran yang berimplikasi pada hajat hidup orang banyak, tak terkecuali kaum perempuan Indonesia,” kata GKR. Hemas saat berbicara dalam pelatihan Sekolah Demokrasi Insan Cita, di Jakarta, Kamis (27/9/2018) malam.
Sekolah Demokrasi Insan Cita diselenggarakan Alumni HMI Wati (Forhati) dengan peserta
anggota Forhati yang menjadi calon anggota legislatif (caleg) dari partai politik pada Pemilu 2019.
Menurut data yang disampaikan GKR. Hemas bahwa hasil Pemilu 2009 menunjukan, perempuan yang menjadi anggota DPR 18.03% dan pada Pemilu 2014 angka menurun menjadi 17.3%.
Adapun prosentase untuk anggota DPD RI masih lebih baik, yakni pada Pemilu 2009 perempuan yang berhasil duduk di lembaga perwakilan daerah ini mencapai 28.7%, meskipun pada Pemilu 2014 turun menjadi 25.7%.
“Dari data tersebut menunjukan bahwa cita-cita proporsi 30% perempuan di parlemen belum tercapai,” kata istri Sri Sultan Hamengkubowono IX itu dengan nada kecewa.
Selain itu, GKR. Hemas juga menyoroti persoalan yang dihadapi perempuan terkait ketidakadilan gender. Beban ganda dan ketergantungan perempuan secara ekonomi kepada laki-laki adalah salah satu bentuk ketidakadilan gender yang menghambat perempuan untuk bergerak di ranah publik, termasuk marjinalisasi di bidang politik.
Dia mencontohkan dalam penentuan nomor urut calon anggota legislatif. Caleg perempuan untuk DPR yang memperoleh nomor urut 1 hanya sebanyak 19% atau 235 orang. (sam)
Diungkapkannya, jauh sebelum dia menjadi anggota DPD RI, dirinya sudah berjuang dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, misal advokasi masyarakat pinggiran, disabilitas, anak perempuan yang mengalami kekerasan komunitas atau kelompok masyarakat tertentu yang mengalami kriminalisasi.
“Ketika menjadi anggota DPD, perjuangan menjadi lebih efektif karena dapat terlibat secara langsung dalam pembuatan Undang-Undang maupun kebijakan,” GKR. Hemas memotivasi peserta pelatihan.
Oleh karena itu kata Hemas, penyelenggaraan sekolah demokrasi yang diinisiasi oleh Alumni HMI Wati patut diapresiasi dan hendaknya dilaksanakan secara reguler, tidak hanya jelang Pemilu.
Kehadiran para Alumni HMI Wati yang akan turut serta dalam kancah pencalonan anggota legislatif diharapkannya menjadi pionir dalam upaya penghapusan ketidakadilan gender terhadap perempuan.
“Saya meyakini para alumni HMI Wati melakukan cara-cara simpatik dan santun untuk mengajak dan menarik simpati publik agar bersama-sama mewujudkan kesetaraan gender di berbagai sendi kehidupan masyarakat”, lanjut GKR. Hemas.
“Tidak ada demokrasi tanpa keterwakilan perempuan. Tidak ada kebijakan perspektif gender tanpa kehadiran perempuan di politik. Tiada kesetaraan gender tanpa kesungguhan semua pihak mendukung perempuan Indonesia untuk maju. Demokrasi pincang tanpa kehadiran perempuan sebagai penentu”, tegas GKR. Hemas. (dpd/chan)