JAKARTA, HALUAN – Ketua Bidang Hubungan Antar Lembaga dan Pelayanan Informasi Komisi Yudisial(ky), Imam Anshori Saleh mengungkapkan, KY menemui banyak kendala dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Kendala-kendala tersebut, antara lain menyangkut keterbatasan kemampuan pengawasan hakim yang jumlahnya mencapai 7 ribu yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Yang kita awasi 7 ribu hakim di seluruh Indonesia. Sementara Komisi Yudisial hanya ada di Jakarta. Kadang-kadang kita tidak bisa mencover secara keseluruhan. Dalam UU memang kita diberi kewenangan untuk membuka penghubung, tapi sampai sekarang baru terealisasi 10 saja,” ujar Imam Anshori Saleh dalam Dialektika Demokrasi bertajuk ‘Rekrutmen Hakim yang Transparan, Partisipatif, dan Akuntabel: Langkah Awal Menuju Peradilan Bersih’, di Gedung DPR, Kamis (4/6).
Padahal, kata Imam, jika saja penghubung terbentuk di 33 provinsi, maka hal itu akan meringankan kerja-kerja Komisi Yudisial dalam pengawasan kode etik hakim. “Selain soal pengawasan, kendala yang dihadapi KY saat ini menyangkut keterbatasan anggaran. Mengingat, kerja-kerja KY berdasarkan kewenangan yang ada, membutuhkan biaya yang cukup besar. Misalnya dalam memanggil pelapor dan saksi-saksi terlapor, seluruhnya dibiayai oleh KY,” ujar Imam.
Karena itu, dia meminta DPR untuk membantu mendorong pemerinah untuk menambah anggaran bagi Komisi Yudisial, atau setidaknya mendorong pemerintah, dalam hal ini Menteri Keuangan untuk mencabut tanda bintang dalam pagu anggaran lembaga itu yang selama ini tidak dapat dipergunakan.
“Setidaknya, ada Rp27 miliar anggaran KY yang tidak bisa digunakan karena diberi tanda bintang, khususnya untuk anggaran perjalanan dinas. Kalau tidak dicabut (tanda bindangnya), maka sedikit akan menyulitkan KY dalam menjalankan tugasnya,” ujarnya lebih lanjut.
Namun Imam mengapresiasi langkah DPR yang akan memperjuangkan peningkatan anggaran bagi Komisi Yudisial. Meski demikian, Imam mengakui bahwa kendala-kendala tersebut, dinilai relatif kecil ketimbang periode sebelumnya. (chan)