www.domainesia.com
Pengawasan

Edhy Prabowo: Sulit Wajudkan Ketahanan Pangan Jika Pasar Dikuasai Tengkulak

×

Edhy Prabowo: Sulit Wajudkan Ketahanan Pangan Jika Pasar Dikuasai Tengkulak

Sebarkan artikel ini
Ketua Fraksi Gerindra di MPR Edy Prabowo (kiri) bersama Guru Besar IPB Dwi Andreas (kanan), tampil sebagai pembicara dalam Dialog Pilar Negara bertajuk "Pelemahan Nilai Rupiah dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Pangan" di Ruang Wartawan DPR/MPR, Senin (6/5).Foto: dardul
Ketua Fraksi Gerindra di MPR  Edy Prabowo (kiri) bersama Guru Besar IPB Dwi Andreas (kanan), tampil sebagai pembicara dalam Dialog Pilar Negara  bertajuk "Pelemahan Nilai Rupiah dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Pangan" di Ruang Wartawan DPR/MPR, Senin (6/5).Foto: dardul
Ketua Fraksi Gerindra di MPR Edy Prabowo (kiri) bersama Guru Besar IPB Dwi Andreas (kanan), tampil sebagai pembicara dalam Dialog Pilar Negara bertajuk “Pelemahan Nilai Rupiah dan Imlikasinya Terhadap Ketahanan Pangan” di Ruang Wartawan DPR/MPR, Senin (6/5).Foto: dardul

JAKARTA – Untuk memperkuat ketahanan pangan khususnya beras, maka pemerintah harus memback up, mendukung Bulog (Badan Urusan Losgitik), yang selama ini menjadi pengendali ketersediaan kebutuhan pokok dan harga-harga agar terjangkau oleh rakyat.

“Selama Bulog tidak diperkuat dan pasar masih dikuasai oleh tengkulak, calo, kartel dan sebagainya, maka sulit bisa mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan sekaligus tak bisa mensejahterakan petani,” tegas Ketua Fraksi Gerindra di MPR Edhy Prabowo dalam dialog pilar negara ‘Pelemahan nilai rupiah dan implikasinya terhadap ketahanan pangan’ bersama guru besar IPB Prof Dwi Andreas Santosa di Gedung DPR/MPR RI Jakarta, Senin (6/4)..

Menurut Edhy, kalau Bulog tidak didukung pemerintah untuk bisa membeli gabah dan atau beras petani secara wajar, meski produksi kita mencapai 100 juta ton pun per tahun, maka sulit mensejahterakan petani, dan juga sulit mengendalikan harga beras dan kebutuhan pokok lainnya.

Sesungguhnya menurut Edhy, tidak perlu khawatir dengan pelemahan rupiah terhadap dollar AS tersebut, sepanjang pangan rakyat terjaga dengan baik. “Kalau swasembada pangan yang tidak saja terbatas untuk beras, tapi juga jagung, gandum, kedelai dan lain-lain terwujud, maka tidak masalah dengan dollar AS. Bayangkan kita impor 7 juta gandum per tahun, tapi satu hektar pun tak ada lahan gandum di sini. Jadi, kita menjadi bangsa yang konsumtif,” ujarnya.

Lima hal pertanian menurut Wakil Ketua Umum DPP Gerindra itu yang harus diperhatikan oleh pemerintah; antara lain infrastruktur pertanian yang buruk seperti irigasi yang hancur sejak tahun 1980-an, benih sulit diterima petani kecuali yang abal-abal, pupuk salah sasaran, penyuluh pertanian dari 75 ribu yang dijanjikan menjadi PNS ternyata sampai hari ini malah ada moratorium PNS, dan terakhir masalah alat pertanian yang modern.

Selain itu jumlah lahan pertanian sekarang sudah banyak berubah menjadi mall, pertokoan, perumahan, pabrik dan sebagainya. Namun kata Edhy, pihaknya berterima kasih kepada Mentan Andi Amran Sulaiman, yang berkomitmen untuk tidak impor beras dari Thailand maupun Vietnam. Bahkan jika ada yang mengizinkan impor, dia akan mundur. “Komitmen itu yang kita perlukan, karena pada April ini ada panen raya,” tambahnya.

Untuk Jawa Timur saja yang semula targetnya 13 juta ton menjadi 15 juta ton, Jawa Barat 6 juta ton, Jawa Tengah juga surplus 3 juta ton dan seterusnya. Karena itu, dia berharap kebijakan itu harus memiliki standar dan strategi pangan yang tepat khususnya terkait data statistik yang benar. Seperti bawang putih 95 % adalah impor. “Jangan sampai bawang merah yang melimpah di negeri ini juga impor. Buruknya lagi importirnya bukan Bulog atau berdikari. Jadi, importirnya juga harus dibenahi,” ungkap Edhy.

Sektor perkebunan sawit dan karet juga besar, tapi kita tak mempunyai satu pun pabrik ban. Padahal menurut Edhy, Indonesia setahunnya membutuhkan satu juta ban kendaraan roda empat, belum lagi untuk kendaraan roda dua. Karena itu ke depan, asing yang berinvestasi di Indonesia, uangnya harus ada di Indonesia, bukan di luar negeri, agar kita tak tergantung impor. “Jadi, kalau mau bangkit itu tidak sulit,” pungkasnya.

Dwi Andreas menyarankan agar pemerintah memperkuat pelemahan rupiah sekarang ini dengan meningkatkan ekspor, karena otomatis impor pangan akan menurun. Namun, dinamika itu tak bisa cepat untuk merespon penguatan dollar AS. “Yang penting pemerintah harus perkuat petani dengan menyubsidi yang besar. Seperti Eropa yang menyubsidi 480 miliar dollar AS atau Rp 5.200 triliun untuk mewujudkan kedaulatan pangannya. Indonesia juga harus demikian,” jelasnya.

Karena itu data petani, lahan pertanian, produksi pertanian, jumlah penduduk, komsumsi pangan dan lainnya harus tepat, agar kebijakan yang dikeluarkan juga tepat. Seperti data produksi gabah sebesar 70,8 juta ton atau menjadi beras sebanyak 43,3 juta ton, maka seharusnya surplus 8 juta ton. “Kalau terjadi kesalahan data antara produksi dan konsumsi, maka akan menjadi masalah serius. Persoalannya yang berhak mengeluarkan data itu hanya BPS, di luar BPS berarti melanggar UU Statistik,” pungkasnya. (chan)