PARLEMENTARIA.COM – Anggota Komisi II DPR RI, Firman Soebagyo menduga politik uang (money politic) pada proses penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) masih terjadi di berbagai daerah. Menurutnya, hal ini seolah-olah sudah menjadi tradisi setiap kontestasi ini dilaksanakan, bahkan seringkali pemilu dikonotasikan negatif dengan ungkapan ‘harus ada uang’.
“Money Politics kemungkinan masih terjadi, karena ini kembali kepada culture masyarakat secara nasional. Kenapa pemilu ini selalu dikonotasikan bahwa harus ada uang untuk pemilih? Mereka (pemilih) kalau tidak diberikan uang transport dan uang saku, mereka tidak mau datang (memilih),” ujar Firman usai pertemuan dengan Sekretaris Daerah Jawa Tengah beserta jajaran, KPU, Bawaslu di Semarang, Jawa Tengah, Selasa (9/7/2019).
Menurut politisi fraksi Partai golkar itu, tindakan money politic yang mengiringi kegiatan pemilu ini harus dievaluasi. Bagaimana caranya agar praktek ini dapat diminimalisir mengingat besarnya anggaran yang harus dikeluarkan para calon legislatif dalam memperebutkan simpati masyarakat.
Pada pertemuan ini, Tim Kunjungan Spesifik (Kunspek) Komisi II DPR RI menggali masukan dari Pemprov Jateng, KPU dan Bawaslu terkait dengan apa saja yang terjadi di lapangan pada saat Pemilu 2019. Hal ini diperlukan untuk merevisi Undang-Undang Pemilu, agar kedepan bisa lebih baik lagi.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Jawa Tengah Fajar Subhi mengatakan untuk meminimalisir adanya pelanggaran politik uang, pada pemilu lalu, Bawaslu Jateng telah meresmikan 47 desa anti politik uang serta sosialisasi berkelanjutan terkait pemahaman daya rusak politik uang kepada pemilih. “Sosialisasi anti politik uang terus kita lakukan, bukan hanya saat berlangsungnya pemilu saja,” pungkasnya. (chan)