Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc* –
DI Hari Pangan Sedunia, yang diperingati tiap tanggal 16 Oktober, saya kembali mengingatkan pentingnya kebijakan “data amnesty” sebagai salah satu syarat untuk mencapai kedaulatan pangan. Tanpa ada konsolidasi data, kita tak akan bisa merumuskan kebijakan pangan yang benar.
Masalah data ini sangat penting, karena menjadi syarat kita bisa merumuskan kebijakan yang benar. Kita kan tidak pernah sinkron jika bicara mengenai data. Soal kemiskinan, misalnya. Menurut data BPJS Kesehatan, saat ini jumlah peserta Jaminan Kesehatan Nasional Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) sebanyak 196,4 juta jiwa di mana 92,2 juta jiwa di antaranya merupakan PBI (Penerima Bantuan Iuran).
Menurut Pasal 14 UU No. 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, PBI adalah peserta jaminan kesehatan yang tergolong sebagai fakir miskin dan orang tidak mampu. Karena fakir dan tidak mampu, maka undang-undang mengamanatkan agar iurannya dibayari oleh Pemerintah melalui APBN.
Sejalan ketentuan, jumlah fakir miskin yang menjadi PBI ditetapkan oleh Pemerintah. Aturan teknisnya adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 101/2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan. Sejak 2017, supaya penetapan PBI tepat sasaran, BPJS dan Kementerian Sosial telah melakukan sinkronisasi data jumlah penduduk miskin. Datanya lengkap, by name dan by address.
Pertanyaannya, jika pemerintah mengalokasikan PBI bagi 92,2 juta orang, kenapa di sisi lain pemerintah mengklaim jumlah orang miskin kita hanya 25,9 juta orang? Ini kan perlu sinkronisasi. Jangan sampai terjadi kita merumuskan anggaran penanggulangan kemiskinan, maka jumlah orang miskinnya kita besar-besarkan, namun jika bicara statistik kemiskinan, jumlahnya kita kecil-kecilkan. Karena itu kita butuh ‘data amnesty’. Data kita kacau dan berbeda antara satu instansi dengan instansi lainnya.
Ketidaksinkronan data juga banyak terjadi di sektor pertanian. Pada Januari lalu, misalnya, Kementerian Pertanian menyebutkan produksi beras kita surplus, tapi Kementerian Perdagangan menyatakan kita perlu impor beras. Ini kan tidak nyambung datanya. Surplus, tapi kok impor? Jika datanya saja tak akurat, bagaimana mungkin kita bisa merumuskan kebijakan publik yang tepat? Itu mustahil bisa dilakukan.
Pemerintah seharusnya merasa dirugikan oleh silang sengkarut data tersebut, karena bisa dipastikan semua kebijakan pemerintah jadi tak efektif. Itu sebabnya untuk memperbaiki data demi agenda kedaulatan pangan, HKTI mengusulkan perlu diadakan kebijakan semacam pengampunan data, atau “data amnesty”.
Kebijakan ini mirip kebijakan amnesti pajak sebenarnya. Karena penggunaan data berimplikasi hukum tertentu, sebab akan menjadi dasar bagi kebijakan publik, maka kebijakan amnesti data ini perlu diatur.
Semua manipulasi, rekayasa, dan ketidak-akuratan data yang ada selama ini kita revisi. Semuanya diputihkan. Selanjutnya, BPS harus diberi otoritas, kebebasan, dan perlindungan untuk mengumpulkan data yang benar dibantu berbagai lembaga dan kementerian. Sesudah kita punya data baru, siapapun yang melakukan manipulasi data ke depannya harus dihukum berat.
Menurut saya, amnesti data ini merupakan kunci penting untuk memperbaiki kebijakan di sektor pangan dan pertanian. Tanpa ada amnesti data, maka kebijakan pangan nasional gampang sekali dimanipulasi. Itu sebabnya, di Hari Pangan Sedunia ini, sebagai Ketua Umum HKTI saya ingin mengajak pemerintah untuk menyambut gagasan tentang pentingnya ‘data amnesty’ untuk memperbaiki kebijakan pangan kita. Selamat Hari Pangan Sedunia. (*Ketua Umum DPN HKTI/Wakil Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra)