JAKARTA – Anggota DPD RI dari daerah pemilihan Propvinsi Papua Yanes Murib menegaskan, rakyat Papua menolak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, karena dampak buruknya sangat luas. Khususnya di bidang transportasi karena hampir seluruh transportasi di Papua menggunakan pesawat udara.
“Harga BBM di Provinsi Papua saja saat ini antara Rp 10.000, – Rp 15.000,-/liter. Di kabupaten Rp 51.000,- – Rp 100.000,-/liter. Jadi rakyat Papua masih menolak kenaikan harga BBM. Karena itu, kalau pencabutan subsidi BBM itu dialihkan ke hal-hal produktif, maka Presiden Jokowi harus menjelaskan itu ke rakyat . Untuk sapa saja uang itu dialihkan?” tegas Yanes Murib dalam diskusi ‘BBM naik, Siapa untung/rugi?’ bersama anggota DPD Ahmad Kanedi dan pengamat ekonomi Berly Martawardaya di Gedung DPD RI Jakarta, Jumat (21/11).
Dikatakan, kalau subsidi BBM itu dialihkan untuk kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan rakyat melalui kartu sakti Jokowi (KIP, KIS, dan KKS), maka Papua harus menjadi prioritas. “Kemiskinan itu sangat luas di Papua. Hubungan antar daerah juga sulit, karena infrastrukturnya semua harus melalui udara. Ditambah lagi, BBM sulit diperoleh, kadang sampai dua minggu,” ujarnya.
Selain itu kata Yanes, anggaran pembangunan untuk Papua tidak mempertimbangkan konsekuensinya, termasuk terus melakukan pemekaran daerah. “Pemekaran daerah itu justru menambah masalah, tak pernah ada kemajuan, sehingga pemekaran bukan solusi bagi Papua. Jadi, kami menagih janji Pak Jokowi saat ini untuk menyelesaikan persoalan rakyat Papua. Kita tunggu, kalau tepati janji rakyat akan terus mendukung Presiden, tapi kalau ingkar, dukungannya bisa pindah ke yang lain,” pungkasnya.
Ahmad Kanedi (senator asal Bengkulu) menegaskan, pihaknya akan mempertanyakan ke Presiden Jokowi tentang kenaikan harga BBM. Khususnya kenapa harus naik, siapa yang diuntungkan dan dirugikan dalam kenaikan harga BBM tersebut. Karena itu, Presiden harus mewujudkan janji-janji agar tidak membingungkan masyarakat.
“Jangan sampai pemerintah gamang, yaitu mempunyai kesempatan untuk menjelaskan kepada masyarakat, namun tidak dimanfaatkan sebaik-baiknya, sehingga menimbulkan masalah. Harusnya segera menjelaskan ke masyarakat agar mampu mengantisipasi dampak dari kenaikan BBM itu,” tegas Ahmad Kanedi.
Sementara itu menurut Berly, pencabutan subsidi BBM itu lebih cepat lebih baik, karena per 20 Desember suplai subsidi BBM akan habis. Sebab, kalau tidak, maka pada 20 Desember 2014 nanti tak akan ada persediaan premium di seluruh Indonesia. “Kenaikan itu juga untuk meminimalisir penimbunan, penyelundupan, mafia Migas dan lain-lain,” ungkapnya.
Yang penting kata Berly, pengalihan-alokasi subsidi BBM itu harus dikawal agar tepat sasaran. Namun sampai saat ini. belum ada penjelasan dari pemeirntah. “Memang dijadwalkan pada Januari 2015, namun akan lebih baik kalau lebih cepat agar rakyat tidak bingung dan memperoleh keterangan lebih detil dan benar. Disamping untuk antisipasi kenaikan harga dan terjadinya inflasi,” tambahnya.
Setidaknya lanjut Berly, Presiden harus memberikan gambaran umum tentang APBN tahun 2015, karena pencabutan subsidi BBM itu mencapai Rp 100 triliun. “Itu, yang antara lain harus dijelaskan oleh Presiden kepada DPR RI dan DPD RI, dan itu lebih cepat lebih baik. Tidak harus Januari nanti, agar rakyat mengetahui alasan-alasan pengalihan konvensasi BBM itu,” pungkasnya. (chan/mun)