www.domainesia.com
HeadLineNasionalPolhukam

Djohermansyah: Pusat Kurang Ikhlas Lepas Kewenangan ke Daerah

×

Djohermansyah: Pusat Kurang Ikhlas Lepas Kewenangan ke Daerah

Sebarkan artikel ini

PARLEMENTARIA.COM – Pakar otonomi daerah Johermansyah Johan menilai pelaksanaan otonomi daerah yang diamanahkan oleh gerakan reformasi 1998, kondisinya tidak baik-baik saja dan cenderung mundur.

“Muncul resentralisasi dan deotonomisasi. Terjadi penarikan berbagai kewenangan sektoral oleh pusat, antara lain di bidang kehutanan, pertambangan,  kelautan dan perikanan,  perumahan, dan aneka perizinan,” kata Prof Djo, begitu dia akrab disapa,  berkaitan dengan Hari Otonomi Daerah ke-29, hari ini, Jumat (25/4).

Padahal kata guru besar IPDN itu, kewenangan itu adalah rohnya otonomi daerah. Tanpa wewenang yang cukup, pemda tidak dapat mengurus kepentingan masyarakat dengan baik, melaksanakan pelayanan publik, dan mempercepat pembangunan. “Aktor pemerintahan kita di pusat agaknya kurang ikhlas melepas kewenangan kepada daerah,” sebut mantan Dirjen Otda Kemendagri itu.

Alasan pusat menarik kewenangan itu juga dapat dipahami Prof Djo. Salah satunya adalah, karena pemda tak mengurus kewenangan itu dengan baik. Menyalahgunakan perizinan kehutanan dan pertambangan misalnya, sehingga mengakibatkan rusaknya lingkungan. Jual beli perizinan terjadi gara-gara kepala daerah perlu modal untuk maju pilkada.

Selain itu,menurut Djo, di bidang keuangan daerah, timbul pula ketidakadilan fiskal dan makin ketatnya pengendalian pusat. Daerah “by law” ditugaskan mengurus 32 urusan pemerintahan seperti pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan umum, namun dana transfer ke daerah (546 daerah otonom) hanya sekitar sepertiga dari APBN. Padahal jumlah ASN yang bekerja di pemda hampir mencapai 80% dari total ASN.

“Di banyak negara prakteknya separuh lebih “state budget” dialokasikan kepada daerah otonomnya. Di negara kita tak terjadi, karena anggaran besar diperlukan guna membiayai birokrasi pusat yang gemuk,” tegas Presiden Institut Otonomi Daerah (i-OTDA) itu.

Diakui Djo, uang daerah dari transfer pusat yang terbatas itu memang bisa ditambah dengan menggali PAD (pendapatan asli daerah). Sayangnya, hanya daerah kaya yang bisa punya PAD tinggi, seperti DKI Jakarta, Kabupaten Badung di Bali, dan Kota Tangerang Selatan di Banten.

“Banyak daerah PAD-nya pas-pasan untuk membiayai anggota DPRD saja. Jangan heran, kalau banyak daerah kita jalannya rusak, sekolah ambrug dan  jembatan gantung di desa saja tak terbangun, gara-gara uangnya sudah tak ada. Visi dan misi yang dijanjikan kepala daerah waktu kampanye tak terdukung oleh APBD yang ada,” kata Prof Djo.

Dana transfer ke daerah yang relatif tak mencukupi itu, dipatok pula oleh pusat penggunaannya. Maka, dana DAU (block grant), sekarang rasa DAK (spesific grant). Semua penggunaannya harus sesuai petunjuk pusat. Begitu pula penata-usahaan keuangan daerah diseragamkan lewat SIPD (sistem informasi pemerintahan daerah) yang kaku dan dikelola pusat.

“Keadaan itu diperparah oleh mayoritas aktor pemerintahan lokal kita yang tak amanah mengelola pemda dan berperilaku koruptif. Dalam tempo 20 tahun ini, sudah lebih dari 400 orang kepala daerah dan wakil kepala daerah yang kena kasus hukum. Mereka cenderung pragmatis, jalankan saja apa adanya,” jelas mantan Penjabat Gubernur Riau itu. (sam)