PARLEMENTARIA.COM – Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) telah menerima 341 usul pembentukan daerah otonom baru (DOB). Enam diantaranya ingin menjadi daerah Istimewa, seperti Solo minta pemekaran dari Jawa Tengah dengan membentuk Daerah Istimewa Surakarta.
Menyikapi hal tersebut, Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari PDIP Aria Bima menegaskan, jangan sampai pemberian daerah keistimewaan ini menimbulkan rasa ketidakadilan bagi daerah-daerah lainnya. Usulan tersebutĀ harus mempertimbangkan rekam jejak Kota Solo bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Menurut Aria, secara historis pemberian status daerah istimewa itu hanya mempunyai suatu kekhususan di dalam proses perlawanan zaman penjajahan dulu. Serta memiliki kekhasan sebagai daerah yang mempunyai kekhususan dan kebudayaan.
Politisi PDI-Perjuangan ini menilai belum ada urgensinya untuk memberikan status daerah istimewa tersebut kepada Solo. “Saya melihat apakah relevansi untuk saat ini? Solo ini sudah menjadi kota dagang, Solo ini sudah menjadi kota pendidikan, kota industri, tidak ada lagi yang mesti diistimewakan,” kata Aria usai RDP Komisi II DPR RI dengan Dirjen Otonomi Daerah Kemendagri, Kamis (24/4/2025).
Dijelaskan, daerah istimewa sendiri diatur dalam Pasal 18B ayat (1) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, di mana negara mengakui dan menghormati pemerintahan yang bersifat khusus dan istimewa.
Saat ini, terdapat dua provinsi yang memiliki status sebagai daerah istimewa. Pertama adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang diatur lewat Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.
Salah satu bentuk keistimewaan DIY adalah dalam tata cara pengisian jabatan gubernur dan wakil gubernur yang diusulkan oleh Kasultanan dan Kadipaten.
Kasultanan mengajukan Sultan Hamengku Buwono yang bertahta sebagai calon gubernur dan Kadipaten mengajukan Adipati Paku Alam yang bertahta sebagai calon wakil gubernur kepada DPRD DIY.
Kedua adalah Provinsi Aceh yang keistimewaannya diatur lewat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun jauh sebelum itu, Aceh mulai menerima status istimewanya pada 1959 melalui Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia Nomor 1/MISSI/1959.
Salah satu bentuk keistimewaan Aceh adalah penyelenggaraan pemerintahannya berpedoman pada asas keislaman. Aturan penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh disebut dengan Qanun Aceh. (*)