www.domainesia.com
OpiniSelebriti

Sekelumit Kenangan Manggung Bersama “Uni” Titiek Puspa

×

Sekelumit Kenangan Manggung Bersama “Uni” Titiek Puspa

Sebarkan artikel ini

Oleh: Syafruddin AL

MEDIO Mei–Juni 2008 adalah masa yang tak akan pernah saya lupakan. Saat itu, saya diberi anugerah kesempatan untuk melawat ke sejumlah negara di Eropa Barat dan Eropa Timur—Perancis, Belgia, Jerman, Polandia (Warsawa), hingga Praha di Republik Ceko dan sebuah kota kecil berbatasan dengan Slowakia. Perjalanan itu bukan sekadar perjalanan jurnalistik biasa, melainkan juga menjadi bagian dari sebuah misi budaya yang membawa nama Indonesia ke panggung dunia.

Saya bergabung dalam rombongan Group Kesenian Nusantara Sangrina Bunda, yang dipimpin oleh Uni Ely Kasim dan dibina langsung oleh sosok luar biasa, Eyang Titiek ‘Sudarwati’ Puspa. Nama besar beliau tentu sudah tidak asing lagi bagi siapa pun. Saya sendiri diikutsertakan sebagai wartawan Harian Singgalang di Jakarta, yang turut membantu mencari sponsor di luar dukungan utama dari Presiden SBY kala itu.

Rombongan kami terdiri dari sekitar 30 orang. Selain dua sosok legendaris Eyang Titiek Puspa dan Uni Ely Kasim, hadir pula aktor Derry Drajat, pelawak Ajo Andre, para penari dan pemusik dari Sangrina Bunda, serta seorang reporter RCTI (yang namanya kini luput dari ingatan saya).

Sebuah momen tak terduga terjadi sebelum keberangkatan. Bang Nazif Basir—suami mendiang Uni Ely Kasim—meminta saya untuk ikut tampil dalam pementasan drama Malin Kundang yang akan digelar di tiga negara: Warsawa, Praha, dan sebuah kota kecil nan cantik dekat Paris, Orleans. Peran yang saya emban adalah sebagai Datuk Nakhoda—pemilik kapal yang membawa Malin ke tanah rantau. Demi peran dadakan ini, saya digembleng langsung oleh aktor Derry Drajat, Bang Nazif, dan tentu saja oleh Eyang Titiek Puspa sendiri, dalam latihan terakhir di rumah beliau di kawasan Pancoran.

Drama berdurasi 40 menit itu menjadi panggung pertama saya di dunia seni peran internasional. Eyang Titiek memerankan ibu Malin, Derry sebagai Malin dewasa, dan Ajo Andre sebagai pengawal kapal. “Anggap saya sebagai teman, jangan lihat saya sebagai artis senior, nanti kamu malah kaku di panggung,” kata Eyang lembut sambil tersenyum saat latihan terakhir. Kalimat itu membekas sampai kini—betapa rendah hatinya seorang legenda.

Bagi saya, pengalaman ini bukan sekadar peliputan biasa. Saya diberi kehormatan tampil di hadapan publik Eropa sebagai Datuk Nakhoda, berbagi panggung dengan nama-nama besar seni tanah air. Dan, alhamdulillah, penampilan saya tidak mengecewakan. Bahkan di Orleans, seorang bule mendekati saya dan minta berswafoto—saya yang kala itu mengenakan busana penghulu adat Minangkabau merasa tersanjung, sekaligus haru.

Sebagai bagian dari tim, saya juga turut memanggul barang bawaan saat turun dari bus, atau membawa properti ke lokasi pementasan. Tidak pernah ada jarak antara kami, tak terkecuali dengan Eyang Titiek Puspa. Sosoknya sederhana, penuh perhatian, dan hangat. Tiap bertemu, beliau selalu bertanya lembut: “Mas AL sudah makan? Sehat?” Bahkan saat uang saku saya sempat dihentikan dengan alasan saya hanya wartawan, Eyang membela saya di hadapan bendahara rombongan, “Mas AL bukan hanya wartawan, tapi juga bagian dari pemain drama yang memperkuat pertunjukan kita.” Setelah itu, uang saku saya pun kembali mengalir seperti yang diterima teman-teman lainnya.

Sepulang dari Eropa, saya tak lagi sempat berinteraksi langsung dengan Eyang. Namun, saya tetap mengikuti aktivitas beliau dari jauh—menyaksikan betapa beliau tetap berkarya dan menginspirasi. Hingga pada Kamis sore, 10 April lalu, kabar duka itu datang menghunjam. Eyang Titiek Puspa berpulang ke Rahmatullah.

Innalillahi wa inna ilaihi raji’un. Duka ini terasa sangat pribadi. Saya masih bisa mendengar suara beliau memanggil saya, “Mas AL…” Saya masih bisa membayangkan canda dan tawa beliau bersama Ajo Andre di penginapan, atau obrolan hangat kami di atas bus yang melaju menuju tempat pementasan.

Selamat jalan, Uni Titiek. Engkau bukan hanya legenda seni, tapi juga sosok manusia yang penuh kasih dan ketulusan. Insya Allah, surga menyambutmu dengan panggung abadi, tempat di mana kebaikan dan cinta akan terus bersenandung. Engkau adalah orang baik, dan orang baik tidak pernah benar-benar pergi. (*)