PARLEMENTARIA.COM – Pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Pertanahan sudah dimulai sejak tahun 2012, pada DPR periode 2009-2014 dan kemudian dilanjutkan kembali Prolegnas perioritas periode 2014-19. Namun sudah 7 tahun berjalan, RUU ini belum juga tuntas dibahas dan ditetapkan menjadi UU.
“Dalam pandangan saya sebagai anggota DPR, sangat kurang tepat kalau kemudian ada berpandangan untuk menghentikan, menunda dan lain sebagainya, tetapi marilah kita menyempurnakannya,” kata Ketua Panja RUU Pertanahan DPR RI Herman Khaeron dalam disikusi bertema “Tarik Ulur RUU Pertanahan”, di Media Center DPR, Selasa (23/7/2019).
Disampaikan Herman, RUU Pertanahan terdiri dari 15 bab dan substansinya ada di bab satu sampai lima sudah diselesaikan. Sepuluh bab lainnya adalah bab pendukung, isinya tentang reforma agraria , tentang PPSL , sanksi administratif, sanksi hukum, pembentukan PPMS di bidang pertanahan.
“Saya kira pasal-pasal peralihan itu adalah sebagai pendukung. Jadi secara substansi tentu pasal satu sampai pasal lima ini sudah kami rampungkan, meski kami sedang melakukan exercise terkait dengan batasan, luasan dan batasan waktu untuk HGU dan HGB. Karena kita mengenal empat sertifikat, ada sertifikat hak milik, HGU, HGB dan hak pakai,” jelas politisi Demokrat itu.
Disebutkan bahwa RUU Pertanahan ini adalah untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena bisa menekan inflasi bidang pertanahan. Karena UU No. 5/1960 tentang Pokok-pokok Agraria tidak cukup mampu memberikan rasa keadilan dibidang pertanahan bagi masyarakat luas.
Penyusunan RUU yang merupakan inisiatif DPR itu juga menjalankan amanat TAP MPR nomor 9 tahun 2001, tentang pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Amanah ini harus diwujudkan di dalam peraturan perundang-undangan yang mencukupi, yang memadai, agar bisa mengatur sektor pertanahan yang di dalamnya juga terkandung sumber daya alam.
Menurut Herman, RUU Pertanahan sudah berpikir jauh ke depan, bagaimana bank tanah bisa berperan untuk bisa melakukan konsolidasi lahan land consolidation untuk mempersiapkan agar pangan ke depan juga dipikirkan dari keberadaan sisi tanahnya.
“Urgensi dari pembentukan UU Pertanahan ini adalah menyelesaikan berbagai sengketa yang ada. Sehingga kami meletakkan di dalam rancangan undang-undang pertanahan ini, sistem pertahanan kita ada stelsel positif menuju kepada kepastian hukum. Kemudian selama 5 tahun jika tidak ada gugatan maka atas kepemilikannya dianggap mutlak tidak bisa diganggu gugat,” jelasnya .
RUU Pertanahan kata Herman,memberikan kepastian atas kepemilikan terhadap tanah seseorang dan jika single land administration bisa diselesaikan secara menyeluruh dengan institusi-institusi negara lainnya.
Pembicara lainnya dalam diskusi itu Kepala Pusat Perancangan Undang-Undang Badan Keahlian DPR RI, Inosentius Samsul dan Plt Biro Hukum dan Humas Andi Tenrisau. (chan)