Opini

Rakyat Menunggu Pertanggungjawaban Nawacita

Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc.* –

KITA harus terus-menerus memperbaiki kualitas demokrasi dan peradaban politik di tanah air. Sesudah Reformasi, kita memang telah memperbaiki sejumlah hal, mulai dari pembatasan kekuasaan presiden, penguatan posisi parlemen, menjaga independensi lembaga yudisial, serta memperbaiki mekanisme ‘checks and balances’ antarlembaga tinggi negara. Namun, sesudah lewat dua puluh tahun, saya kira proses perbaikan itu tak boleh berhenti di situ. Kita harus terus-menerus melontarkan gagasan baru.

Saya menilai ada satu gagasan lama yang mungkin penting untuk kita pertimbangkan kembali pelaksanaannya hari ini, yaitu mengenai forum pertanggungjawaban lima tahunan pemerintah. Sesudah Reformasi dan amandemen konstitusi, kita memang tak lagi mengenal istilah “pertanggungjawaban presiden” lima tahunan di hadapan MPR RI.

Padahal, sudah merupakan kelaziman di organisasi manapun, pada akhir masa kepengurusan selalu dilakukan laporan pertanggungjawaban. Filosofinya jelas, setiap bentuk kekuasaan memang harus dipertanggungjawabkan. Tak boleh ada ruang bagi kekuasaan yang minus pertanggungjawaban.

Masalahnya, berubahnya fungsi dan wewenang MPR telah membuat mekanisme pertanggungjawaban Presiden menjadi tak lagi memiliki forum resmi khusus. Kecuali terjadi pelanggaran hukum dan ketatanegaraan oleh Presiden, yang menjadi dasar bagi proses pemakzulan, kita tak lagi memiliki mekanisme yang mengatur soal pertanggungjawaban lima tahunan oleh Pemerintah.

Satu-satunya mekanisme pertanggungjawaban yang tersedia diserahkan langsung kepada rakyat melalui mekanisme pemilihan umum. Jika dianggap bekerja baik, maka rakyat bisa memilih kembali, namun jika tidak maka rakyat akan menarik kembali dukungannya.

Jadi, sesudah Reformasi, kita hanya mengenal pertanggungjawaban hukum dan politik saja. Tidak ada mekanisme pertanggungjawaban yang bersifat evaluatif mengenai kinerja presiden, tugas-tugas presiden, dan apa saja yang telah diperbuat Presiden dari sejak pelantikan sampai dengan akhir masa jabatannya.

Mekanisme pertanggungjawaban lima tahunan ini sangat kita perlukan, agar terjadi kesinambungan antara apa yang dikerjakan oleh satu pemerintahan dengan pemerintahan berikutnya. Minimal, kita jadi punya catatan mengenai capaian kerja pemerintah selama lima tahun dalam satu dokumen resmi kenegaraan. Jika dilakukan, pertanggungjawaban lima tahunan pemerintah atau Presiden itu memang tidak dalam rangka ditolak atau diterima, karena aturan ketatanegaraan kita kini telah berubah, namun dilakukan dalam rangka menyusun memori jabatan.

Pemberian pertanggungjawaban itu bisa dilakukan melalui mekanisme yang sederhana saja. Pertama, Presiden diberi kesempatan untuk memberikan laporan pertanggungjawaban. Kedua, fraksi-fraksi di MPR diberi kesempatan untuk memberikan catatan dan evaluasi. Lalu terakhir, Presiden diberi kesempatan untuk memberikan tanggapan atas catatan-catatan tadi. Sudah, selesai. Seluruh proses itu akan menjadi dokumen kenegaraan.

Memang, tidak ada ketentuan yang kini mengatur hal tersebut. Tapi tidak berarti hal semacam itu mustahil dilakukan. Sekali lagi, prinsip yang ingin kita bangun adalah bagaimana terus-menerus memperbaiki kualitas demokrasi dan peradaban politik di tanah air. Itu saja.

Sebagai contoh saya melihat petahana seharusnya membuat laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan Nawacita. Petahana memberikan penjelasan atas capaian visi dan misi lama yang ditawarkan lima tahun lalu. Sayangnya, saya tak mendengar istilah “Nawacita” digunakan kembali oleh petahana dalam kampanye Pemilu sekarang ini.

Saya punya catatan khusus mengenai hal ini. Nawacita sebenarnya adalah jargon saat kampanye. Secara teknis, Nawacita merupakan dokumen visi dan misi Saudara Joko Widodo saat menjadi calon presiden pada 2014 lalu. Idealnya, sesudah terpilih menjadi Presiden dokumen visi dan misi tersebut diturunkan ke dalam RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) 2015-2019. Tapi sepertinya itu tak terjadi.

Kenapa saya bisa mengatakan begitu, karena saya membaca Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma’ruf Amin pernah memberikan pernyataan bahwa salah satu kendala kenapa Nawacita tidak bisa terealisir adalah karena RPJMN yang kini berlaku disusun oleh pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Apologi itu tentu saja tak berdasar.

RPJMN itu ditetapkan melalui Peraturan Presiden (Perpres). Nah, RPJMN yang saat ini berlaku, yaitu RPJMN 2015-2019, ditetapkan melalui Perpres No. 2/2015 yang diteken Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Januari 2015. Jadi, keliru sekali jika menyebut RPJMN yang berlaku saat ini produk pemerintahan SBY.

Ada dua kemungkinan kenapa dalih semacam ini bisa muncul. Pertama, alasan itu dibuat sebagai kambing hitam atas ketidakberhasilan pemerintahan sekarang ini dalam merealisasikan Nawacita. Artinya, sebagai sebuah visi dan misi, Nawacita memang diakui telah gagal direalisasikan.

Atau, kedua, pemerintahan sekarang ini memang tak becus menyusun rencana pembangunan, sehingga apa yang menjadi visi dan misi mereka, dalam hal ini Nawacita, tak sanggup mereka turunkan dalam wujud rencana kerja konkret pemerintah, yaitu menjadi RPJMN.

Makanya kita kemudian melihat adanya ketidaksinkronan antara apa yang dulu dijadikan jargon saat kampanye, dengan apa yang diklaim sebagai keberhasilan. Misalnya, dulu jargonnya “Revolusi Mental”, tapi kemudian yang dibangun secara jor-joran justru adalah jalan tol, atau infrastruktur fisik.

Dari 9 poin gagasan Nawacita, saya menilai sebagian besarnya gagal. Saya hanya memberikan nilai positif pada poin pembangunan daerah perbatasan. Itupun sebatas gedung yang kelihatan megah tapi tak berisi. Jadi Nawacita menurut saya tak berhasil alias gagal.

Begitu juga dengan janji mewujudkan kemandirian ekonomi. Bagaimana bisa kita mandiri, jika yang diutamakan ekonomi impor? Kita impor beras saat petani kita sedang panen, kita impor gula saat stok gula nasional berlebih, lalu mau mandiri dari mana?

Apalagi janji Reforma Agraria 9 juta hektare, dalam empat tahun terakhir yang terealisir saya catat hanya sekitar 700 ribu hektare saja. Senjang sekali antara apa yang dijanjikan dengan apa yang bisa direalisasikan.

Hal yang sama juga terjadi pada poin meningkatkan daya saing di pasar internasional. Rekor defisit neraca perdagangan yang tembus US$8,57 miliar sepanjang 2018 lalu, yang merupakan rekor defisit terbesar sepanjang sejarah kita, merupakan bukti nyata pemerintah gagal mengangkat daya saing nasional. Kita hanya menjadi bangsa pengimpor saja saat ini.

Kesimpulannya Nawacita sekedar jargon yang tidak benar-benar diperjuangkan dan gagal direalisasikan. Pemerintah tak bisa menerjemahkan gagasan-gagasan itu ke dalam kerja-kerja nyata.

Tak heran, dalam kampanye untuk Pilpres 2019 ini, kubu petahana tak lagi menyebut dan mengkampanyekan Nawacita. Coba baca dokumen visi dan misi Saudara Joko Widodo yang baru, hanya dua kali istilah Nawacita disebut. Itupun hanya di bagian pembukaan.

Sebuah agenda yang gagal memang akan jadi beban jika dikampanyekan ulang. Orang justru akan diingatkan kepada kegagalan agenda tersebut. Sayang, kita tidak punya forum kenegaraan khusus di mana kita bisa mengevaluasi kinerja pemerintah dalam rentang lima tahunan. Sehingga, Nawacita hanya jadi jargon, minus pertanggungjawaban. (*Wakil Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top