Opini

HAM dan Demokrasi di Indonesia Mengalami Kemunduran

Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc.* –

Penegakkan HAM di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo terbukti tak mengalami banyak kemajuan. Selama empat tahun pemerintahan Jokowi, ancaman terhadap kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul, serta kebebasan sipil, justru kian meningkat.

Jika kita mengacu kepada data Amnesty International, Majalah The Economist, atau Freedom House, semuanya memperlihatkan bahwa indeks kebebasan HAM dan demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Terancamnya kebebasan sipil merupakan salah satu faktor yang paling menentukan kemerosotan HAM dan tingkat demokrasi Indonesia.

Kemunduran dalam soal kebebasan sipil tersebut telah membuat status kita, menurut Freedom House, turun status, dari sebelumnya tergolong sebagai negara ‘bebas’ (free), kini menjadi negara ‘bebas sebagian’ (partly free) di tahun 2018. Ini sebuah kemunduran yang agak memalukan. Sebab, sebagai pembanding, pada saat bersamaan negara seperti Timor Leste saja peringkatnya naik dari ‘partly free’ menjadi ‘free’.

Para pengamat yang partisan biasanya hanya menyebut faktor menguatnya intoleransi atau menguatnya politik identitas di tengah masyarakat sebagai penyebab mundurnya peringkat demokrasi kita, namun mengabaikan faktor turunnya kebebasan sipil akibat kontrol dan pembatasan kebebasan berpendapat oleh pemerintah. Kasus Ahmad Dhani dan Habib Bahar Smith belakangan ini melengkapi penindasan terhadap hak sipil dan hak-hak dasar lain dalam berdemokrasi.

Data lembaga-lembaga internasional tadi konsisten dengan data yang dimiliki BPS (Badan Pusat Statistik). Meski secara umum tahun ini angka BPS menyebut skor Indeks Demokrasi Indonesia mengalami kenaikan, namun variabel kebebasan berpendapat serta kebebasan berkumpul dan berserikat justru menurun. Kalau kita periksa, variabel yang mengalami penurunan tersebut adalah kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, serta peran peradilan yang independen.

Jadi, jika selama pemerintahan Jokowi masyarakat mengeluhkan adanya persekusi terhadap ulama yang kritis, adanya upaya pembungkaman dan kriminalisasi terhadap tokoh-tokoh oposan pemerintah, semua itu adalah bukti dari perampasan terhadap kebebasan berpendapat. Apa yang dirasakan masyarakat koheren dengan data-data tadi.

Saya kira selama ini pemerintah memang terlalu mementingkan agenda pembangunan infrastruktur dengan mengesampingkan agenda penegakan HAM. Celakanya, pembangunan infrastruktur itupun lebih banyak didominasi oleh pembangunan jalan tol, yang hanya melayani konsumen tertentu, sehingga gagal menghadirkan keadilan ekonomi. Jangan lupa, keadilan ekonomi adalah bagian dari HAM.

BPS November lalu merilis data statistik bagaimana perekonomian Indonesia saat ini masih didominasi oleh Pulau Jawa. Hal itu ditunjukkan dengan kontribusi Pulau Jawa terhadap perekonomian Indonesia yang mencapai 58,57%, padahal tahun lalu angkanya 58,49%. Ini tentu saja tidak bagus. Artinya, Pemerintah tidak berhasil mendistribusikan pertumbuhan ekonomi ke luar Pulau Jawa.

Pada saat bersamaan, kontribusi ekonomi daerah-daerah lain justru turun. Tahun lalu kontribusi Sumatera masih 21,66%, tahun ini turun menjadi 21,53%. Begitu juga dengan Kalimantan, yang kontribusinya turun dari 8,20% menjadi 8,07%. Karena ekonomi kita justru kembali memusat di Jawa, ada problem keadilan dan pemerataan di situ.

Jadi, terkait dengan HAM, bukan hanya faktor kebebasan sipil saja yang mengalami kemunduran, namun keadilan ekonomi juga mengalami kemunduran. Jangankan menyelesaikan kasus-kasus HAM masa lalu, untuk mengusut kasus Novel Baswedan saja pemerintahan saat ini tidak mampu. Ini sebaiknya dijadikan catatan oleh kita untuk memperbaiki kondisi HAM di masa mendatang. (*Wakil Ketua DPR RI/Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top