JAKARTA– Ketua Presidium Nasional Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia, Melani Leimena Suharli mendorong Badan Legislasi (Baleg) DPR memasukkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual terhadap Perempuan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Soalnya, kata politisi Partai Demokrat tersebut, maraknya kasus kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan belakangan ini. Bahkan kekerasan itu tidak hanya sudah membahayakan tetapi juga tidak ada dukungan hukum yang kuat terhadap korban kekerasan sehingga mereka menderita seumur hidup.
Bahkan wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jakarta Selatan, Pusat dan Luar Negeri tersebut mendesak pemerintah segera menetapkan darurat kekerasan seksual atas maraknya kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan belakangan.
Pasalnya, kata Melani, kekerasan seksual yang menimpa perempuan dan anak-anak tiap tahun terus meningkat. Malah data Komisi Nasional (Komnas) Perempuan dari 2002 sampai 2012, ada 139.133 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.
Ini artinya, dalam setiap dua jam di Indonesia terdapat tiga sampai empat perempuan mengalami kekerasan seksual seperti kasus perkosaan dan pembunuhan anak perempuan
Kasus Angeline di Bali dan FNY di Kali Deres mendapat sorotan tajam publik. Angka tersebut dipastikan akan lebih besar lagi, jika digabungkan dengan korban yang tidak melaporkan kekerasan seksual terhadap anak dan perempuan.
“Mayoritas korbannya juga mengalami berbagai bentuk stigma, diskriminasi dan terulangnya kekerasan serta pelanggaran HAM lainnya. Masyarakat hendaknya melihat keadaan ini sudah sangat darurat. Padahal sudah sejak awal kampanye Presiden Jokowi mencanangkan rovolusi mental, ” ujar Melaini, Kamis (15/10).
Meningkatnya angka kekerasan seksual kepada perempuan dan anak-anak disebabkan tidak memadainya KUHP dan peraturan perundangan lain yang terkait untuk mencegah, menghukum, melindungi hak-hak korban, serta mentransformasi masyarakat dan budaya hukum.
Selain itu, juga tidak tersedianya layanan yang bersifat segera dan komprehensif oleh Pemerintah, juga kuatnya stigma negatif kepada korban kekerasan seksual. “Kemajuan bangsa ini sudah sedemikan pesat. Ironisnya justru mental dan moral warga negaranya semakin menyedihkan.”
Dikatakan, pihaknya ingin mengubah hukum acara yang ada selama ini. Proses pemulihan juga harus sejak awal korban kekerasan seksual melapor. Jangan lagi proses pemulihan setelah proses peradilan seperti yang selama ini terjadi. “Intinya, kami ingin mendorong kekerasan terhadap perempuan makin lama makin tertangani,” kata dia.
Pada kesempatan serupa, anggota Komnas Perempuan, Irawati Harsono mengatakan, selain kasus kekerasan seksual, kekerasan lain juga terjadi dalam berbagai bentuk seperti ekspolitasi seksual, perbudakan, intimidasi, ancaman, penindasan, kehamilan di luar nikah, ancaman prostitusi dan lainnya.
“Ada 15 kasus yang bisa dijadikan delik aduan. Tapi dalam KUHP hanya mengatur dua kasus karena itu Komnas Perempuan dan lembaga lainnya mengusulkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.”
Dalam RUU Kekerasan Seksual itu diusulkan 15 kasus yang bisa menjadi delik dan dikelompokkan menjadi 6 jenis delik aduan. RUU tersebut nantinya akan menjadi UU lex specialis (khusus). Data kekerasan seksual yang terjadi belakangan ini sudah sangat mendesak agar RUU ini masuk Proglegnas tambahan.
Sebab UU yang ada tidak mengakomodasi laporan dari para korban, karena kekerasan tidak masuk dalam KUHP itu.
Dikatakan, kasus kekerasan seksual adalah kasus yang khusus sehingga tak bisa masuk dalam delik umum. Jika RUU ini nanti diundangkan maka bisa mengakomodasi semua jenis kejahatan yang masuk dalam delik aduan. Untuk mendorong RUU ini segera diproses di DPR, pihaknya akan aktif melakukan diskusi kepada semua pihak kepentingan. (art)