JAKARTA-Wali Sanga telah lama mengembangkan Islam Nusantara atau yang dikenal dengan Islam Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) annahdliyyah (NU). Ciri Islam Nusantara mampu mengakomodir kebiasaan-kebiasaan, tradisi dan kultur masyarakat setempat. “Islam Nusantara mempertimbangkan kebaikan dan kemaslahatan, tanpa kekerasan dalam bermasyarakat, berbangsa, bernegara. Selama hal itu tidak bertentangan dengan ajaran agama, serta tidak menimbulkan kegaduhan atau dishamoni bangsa,” kata Rais Aam PBNU Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin dalam Halaqoh Kebangsaan “Islam Nusantara; Mengembangkan Sikap Toleran, Moderat dan Maslahah” yang digelar oleh FPKB DPR RI di Jakarta, Rabu (19/8).
Pada acara yang dibuka oleh Ketua FPKB DPR RI A. Helmy Faishal Zaini tersebut menghadirkan pembicara Akhmad Sahal (Pengurus PCINU Amerika, Kandidat PhD University of Pennsylvania), dan Safiq Hasyim PhD (Intelektual Muda NU). Hadir antara lain anggota FPKB DPR RI Syaikul Islam Ali, KH. Maman Imanul Haq, Jazilul Fawaid, M. Nasim Khan, Siti Masyrifah, Abdul Malik Haramaian, H. Bisri Romli, dan lain-lain.
Gerakan dan perilaku Islam Nusantara tersebut, kata Ma’ruf Amin, penting untuk terus disosialisasikan di tengah berkembangnya banyak paham keagamaan. Seperti mu’tazilah, jabariyah, syiah, radikalisme dan lain-lain. “Nah, Islam Nusantara ini berbeda dalam cara berpikir dan berperilaku seperti umat Islam di Timur Tengah yang saling membunuh itu,” ujarnya.
Setidaknya kata Ma’ruf Amin, ada tiga aspek Islam Nusantara tersebut antara lain, pemikiran, gerakan, dan amaliyah. Yaitu cara berpikir moderat (tawassuth), tidak hanya berpegangan pada teks-teks (tekstual), tapi juga tidak liberal. “Untuk kelompok yang hanya berpegang pada teks-teks itu, maka mereka yang berperilaku di luar teks akan dianggap menyimpang dari Islam,” tambah Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia itu.
Sementara, Islam Nusantara ketika menghadapi masalah dan tidak ada dasarnya dalam teks, nash (Al-Quran), maka kita terus mengkaji terlebih dahulu berdasarkan hadis, pendapat para ulama, dan sebagainya dengan pendekatan kebaikan, maslahat, istihsan dan selama tidak bertentangan dengan agama. Seperti acara halal bihalal, maulid Nabi Muhammad SAW, tahlilan, Rajaban, haul, peringatan 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari dan sebagainya.
“Jadi, Islam Nusantara itu bukan agama baru, melainkan beragama dengan berperilaku melalui pendekatan-pendekatan keagamaan yang moderat, dinamis (tatawwur), tak hanya berpegang pada teks-teks, Al-Quran, tapi melakukan pengkajian yang mendalam (istimbath) dengan tetap berpegang pada landasan agama (manhaj), ketika dasar dalam nash itu tidak ada, dan besifat dinamis, tidak statis,” tambahnya.
Karena itu, Islam Nusantara itu adalah gerakan Islam yang berkemajuan (harakatul ishlahiyah), gerakan perbaikan-perbaikan, maka itu ada kaidah ‘Almuhafadhatu alal qodimis sholih wal akhdu biljadidil ashlah-memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil hal-hal baru yang lebih baik. Tapi kata KH. Ma’ruf Amin, mengambil (akhdu) itu pasif, sedangkan gerakan itu seharusnya aktif, inovatif dan kreatif. “Jadi, Islam Nusantara ini harus melakukan perbaikan-perbaikan secara aktif,” tuturnya.
Selain itu menurut KH. Ma’ruf Amin, dalam gerakan perbaikan itu dengan taqdimul ashlah alas-sholah yaitu mendahulukan yang terbaik daripada yang baik. Juga sepanjang tidak menimbulkan gejolak, disharmoni. Selanjutnya berpikir dan berperilaku yang seimbang (tawazun), tathawwuriyah (sukarela) sehingga tidak memaksa-maksa orang lain untuk mengikuti agama kita, namun juga tidak masa bodoh. Terakhir adalah bersikap santun, dan toleran.