www.domainesia.com
HeadLinePengawasan

Harga Beras Melambung, DPR Perlu Bentuk Pansus

×

Harga Beras Melambung, DPR Perlu Bentuk Pansus

Sebarkan artikel ini
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Daniel Djohan (kiri) bersama Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Sarmuji (tengah) dan Peneliti Pertanian IPB, Jan Prince Permata menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Harga Beras Melambung,Siapa yang Bermain" di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (26/2). Foto dardul
Anggota Komisi  IV DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa  (F-PKB) Daniel Djohan (kiri) bersama Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Sarmuji (tengah) dan Peneliti Pertanian IPB, Jan Prince Permata menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk "Harga Beras Melambung,Siapa yang Bermain" di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (26/2).  Foto dardul
Anggota Komisi IV DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB) Daniel Djohan (kiri) bersama Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Golkar Sarmuji (tengah) dan Peneliti Pertanian IPB, Jan Prince Permata menjadi pembicara dalam diskusi bertajuk “Harga Beras Melambung,Siapa yang Bermain” di Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis (26/2). Foto dardul

JAKARTA – Melambungnya harga besar sudah pada tingkat membahayakan bagi suatu negara dan ancamannya lebih berbahaya dari nuklir. Apalagi kasus beras ini hampir terjadi setiap tahun, terus berulang-ulang dan sistemik.

“Saya melihat ada tangan-tangan yang tidak terlihat untuk pengondisian untuk melakukan impor beras setiap menjelang panen raya. Untuk itu, agar harga gabah dan beras tidak jatuh di musim panan raya itu, maka pemerintah harus tolak impor beras,” tegas anggota Komisi IV DPR Daniel Djohan dalam diskusi “Melambungnya Harga Beras, Siapa yang Bermain?”, di Gedung DPR, Kamis (26/2).

Menurut anggota DPR dari PKB itu, yang harus dilakukan oleh Bulog adalah menindak oknum pemerintah dan swasta serta melakukan operasi pasar untuk mengetahui jumlah stok beras. Hanya saja operasi pasar itu tidak main-main dengan tidak mengandalkan pengusaha besar.

“Sebab, pengusaha besar itu sebagian merupakan bagian dari kartel, yang mengendalikan harga. Bulog harus andalkan Kopas, yaitu koperasi pasar dan kios-kios kecil di pasar tidak mungkin akan menimbun beras,” ujarnya.

Persoalannya lanjut Daniel, pedagang kecil itu kalau minta ke depot logistik (Dolog) berasnya malah ditahan, sehingga mereka kembali ke pasar induk yang harganya sudah dikendalikan oleh pengusaha besar.

Karena itu Dolog harus mendistribusikan stok beras itu ke pedagang kecil dan harganya harus dikendalikan oleh Bulog. “Kalau harga sudah ditetapkan, pengawasnya kepala pasar yang sehari-hari bertugas di pasar, dan yang melanggar harus mendapat sanksi, maka harga dan distribusi beras aman ,” tambahnya.

Thailand kata Daniel, sudah menawarkan beras Rp 4.000/kg, tapi itu beras arkiran. Karena itu kata Daniel, kalau ada oknum Bulog yang melakukan penyimpangan, maka Dirut Bulog yang baru bisa membereskan berbagai penyimpangan itu. Bulog mendapat PMN Rp 3 triliun, sedangkan pupuk mendapat subisidi Rp 32 triliun.

“Jadi, seharusnya Bulog langsung bertanggungjawab kepada presiden, yang bisa mensubsidi petani dari hulu untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Harga beras pun tidak bisa diserahkan ke pasar, karena pangan sebagai kebutuhan dasar yang harus dikendalikan oleh negara,” jelas Daniel.

Anggota Komisi VI DPR RI dari Golkar Muhammad Sarmuji melihat melambungnya harga beras saat ini tidak masuk akal, karena stok di Bulog menumpuk. Di Surabaya Selatan untuk wilayah Mojokerto, Jombang, dan sekitarnya misalnya, stok beras di Bulog itu bahkan cukup untuk 18 bulan. Tapi, kenapa harga beras terus naik?

“Pada hal, Jatim sebagai daerah penyumbang 20 % kebutuhan beras nasional. Itu berarti ada pihak-pihak yang memainkan harga. Ya, pedagang besar, pemain besar. Tapi, soal siapa? Intelejen tahu itu,” jelasnya.

Kenapa bisa dimainkan, karena menurut Sarmuji, fungsi Bulog tidak jalan. Apalagi menjelang panen raya ini seharusnya stok beras itu dikeluarkan akhir Desember 2014 lalu. “Bukannya akhir Februari 2015 ini, sehingga saat panen raya pada Maret nanti Bulog bisa membeli gabah atau beras dari petani, sekaligus bisa melakukan stabilisasi harga. Hanya saja Bulog tak bisa melakukan operasi pasar kecuali diminta oleh Menteri Perdagangan,” tuturnya.

Mestinya kata Sarmuji ketika harga beras itu naik sampai 10 %, maka pemerintah langsung melakukan operasi pasar, namun karena fungsi Bulog tidak berjalan, maka harga beras terus melambung. Padahal, Bulog bisa membuat outlet di pasar-pasar yang sudah memiliki jalur distribusi. “Jadi, kita memang harus membenahi Bulog. Untuk itu, kita mendukung Pansus beras maupun pupuk yang akan dilakukan lintas komisi DPR RI nanti,” pungkasnya.

Sementara itu pemerhati pertanian, Prince Permata menegaskan, yang sulit itu kejujuran, dimana harga itu indikator yang paling tepat untuk mengukur kejujuran tersebut adalah harga. Anehnya Presiden Jokowi yang katanya rajin blusukan, ternyata kebobolan harga beras.

“Jadi, kalau dengan 8 juta ton beras nasional akan aman, tapi buktinya pemerintah kecolongan. Saya khawatir ini bukan soal Bulog, kartel atau mafia beras, melainkan soal kapasitas pemerintah. Mengapa? Buktinya, sewaktu Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) Presiden, hal itu bisa diatasi. Maka, ini berarti problem ketidakmampuan negara dalam mengantisipasi harga terkait kedaulatan pangan sebagaimana dijanjikan Jokowi sebagai Nawacita dan Trisakti Bung Karno,” ungkapnya.

Pada prinsipnya kata Permata, pemerintah itu harus seperti pedagang, dia harus hadir di sawah maupun di pasar agar mengetahui betul kondisi perberasan yang sesungguhnya. Baik mengenai terkait stok, menjelang panen raya, harga dan sebagainya. (chan)