
JAKARTA – Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan lebih cenderung mendukung program mobil nasional (mobnas) dengan mengembangkan mobil Esemka daripada Proton produk Malaysia. Apalagi jangan sampai mobnas itu menjadi mobmas (mobil Malaysia).
“Sejauh ini kerjasama itu katanya antara perusahaan atau bisnis to bisnis (B to B), bukan antara pemerintah Indonesia dengan Malaysia atau G to G. Tapi, kehadiran Presiden Jokowi dalam penandatanganan kerjasama itu dipertanyakan, kenapa tidak mengembangkan Esemka?” kata Taufik Kurniawan mempertanyakan dalam didskusi ‘Industri otomotif Kenapa Menggandeng Proton?”, di Gedung DPR RI Jakarta, Kamis (12/2).
Apalagi kata Taufik, kerjasama dengan Proton itu dilakukan di tengah kondisi politik dalam negeri membutuhkan keputusan cepat dan tepat presiden terkait konflik Polri dan KPK, iklan TKI yang melecehkan bangsa Indonesia dan persoalan lainnya yang harus cepat ditangani pemerintah. “ Apakah kerjasama itu atas dorongan pihak tertentu? Kalau benar, sungguh mudahnya Jokowi melupakan Esemka,” ujarnya.
Menurut Taufik, kebijakan Mobnas itu harus terintegrasi dengan seluruh kementerian yang ada. Misalnya menyangkut mesin, body, baja, tenaga kerja dan sebagainya sehingga sebuah produk itu 100 % aseli Indonesia. “Jadi, DPR akan mendukung selama program itu bukan untuk pencitraan, melainkan benar-benar untuk kesejahteraan rakyat. Maka jangan sampai Mobnas menjadi Mobmas (mobil Malaysia),” tambahnya.
Selain itu kata Taufik, Presiden Jokowi butuh juru bicara, agar apa yang akan dikerjakan atau kebijakan yang akan dibuat sampai kepada rakyat dengan benar. “Menteri-menteri pun harus memback up program dan kinerja Presiden. Sedangkan kewajiban DPR RI adalah mengontrol, mengawasi dan membantu mencari solusi,” pungkasnya.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI Dodi Reza Alex Noerdin juga tidak mempermasalahkan Malaysia memperluas sayap perusahaan Proton di Indonesia untuk Mobnas. “Namanya juga B to B, maka kehadiran Jokowi juga tidak masalah meski dipertanyakan banyak kalangan. Yang penting jangan sampai ada intervensi pemerintah dalam bisnis, jangan ada perlakuan khusus,” kata politisi Golkar itu.
Dikatakan, membangun Mobnas itu harus dikaji secara komprehensif termasuk mengenai lokal kontennya (komponen). Tapi, kalau impor secara utuh, maka tidak masuk akal dan tidak cocok Proton menjadi Mobnas. Apalagi sudah banyak Mobnas mati di negeri ini, karena tidak melakukan transfer teknologi mesinnya.
Pengamat ekonomi Ichsanuddin Noersy mengkhawatirkan, jika kerjasama dengan Proton dilanjutkan, maka Jepang (Astra) tidak akan tinggal diam, karena selama 35 tahun sudah menikmati pasar Indonesia tanpa persaingan, Jepang bisa menjual mobilnya dengan harga yang cukup mahal selama ini. Namun bicara mobil itu tentang mesin (engine), maka ketika suatu Negara bisa menciptakan mesin, maka negara itu akan mengalami lompatan-lompatan teknologi dan maju.
Bahwa mobil itu menurut Ichsanuddin, akan melibatkan puluhan ribu komponen yang dibutuhkan. Dari baja, besi, plastik, karet, BBM dan ribuan tenaga kerja. “Jadi, Jepang sudah menikmati nilai tambah itu selama ini. Untuk itu, kalau Jokowi mau membangun Mobnas, maka harus mempertimbangkan situasi persaingan otomatif,” ujarnya mengingatkan.
Setiap negara industry otomotif guna mendukung pasarnya maka akan membantu pembangunan infrastruktur jalan raya dan apalagi penguasa baja itu adalah India, Jepang, China dan Korea. “Jadi, membangun industry otomotif itu dibutuhkan petarung yang cerdas,” tambah Ichsanuddin. (chan/mun)