PARLEMENTARIA.COM – Dalam melaksanakan perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah masih belum mencerminkan prinsip-prinsip yang berkeseimbangan dan berkeadilan. Hal ini ditandai dengan masih tingginya ketergantungan keuangan daerah pada transfer dari Pemerintah Pusat.
Salah satu yang menjadi cermin belum seimbang dan adilnya keuangan antara pusat dan daerah adalah menyangkut Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor sumber daya alam, khususnya dalam hal ini pajak kelapa sawit mentah atau Crude Palm Oil (CPO).
“Seharusnya sebagian besar pajak CPO dikembali ke daerah asal dalam bentuk Dana Bagi Hasil (DBH) untuk meningkatkan pendapatan daerah dari sektor perkebunan dan mempercepat pertumbuhan pembangunan di daerah,” kata Wakil Ketua DPD RI Darmayanti Lubis, Senin (5/8/2019).
Menurutnya Senator asal Sumatera Utara tersebut, Indonesia sebagai produsen kelapa sawit terbesar di dunia dan sebagai negara yang melaksanakan pemerintahan daerah dengan sistem otonomi terbesar pula di dunia.
Industri kelapa sawit selalu menjadi isu strategis, baik di tingkat regional maupun global. Isu strategis itu dipicu oleh aspek keuntungan dan kerugian. Di satu sisi, industri kelapa sawit dinilai telah memberikan peran penting bagi perekonomian nasional di antaranya mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi kemiskinan.
Namun di sisi lain, dipandang belum memberikan dampak yang signifikan, khususnya bagi daerah penghasil yang dapat menjadi salah satu sumber dana pembiayaan penyelenggaraan otonomi daerah.
“Akibatnya tidak berimbangnya dana bagi hasil ke daerah, membuat daerah-daerah penghasil masih mengandalkan pada dana transfer dari pusat yang pada gilirannya membuat daerah bergantung pada dana transfer dari pusat. Akibatnya memperlemah otonomi dan memperkuat hegemoni pusat,” tukas Wakil Ketua DPD RI tersebut.
Tidak mengalirnya pajak CPO ke daerah penghasil karena kebijakan regulasi yang kurang tepat. Hal itu tercermin dalam UU Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Dalam UU itu disebutkan bahwa DBH hanya bersumber dari SDA dari penerimaan kehutanan yang berasal dari Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan dana reboisasi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Kemudian penerimaan pertambangan mineral dan batubara yang berasal dari penerimaan iuran tetap (landrent) dan penerimaan iuran eksplorasi dan iuran eksploitasi(royalty) yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
Berikutnya, penerimaan negara dari sumber daya alam pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, panas bumi yang berasal dari penerimaan setoran bagian pemerintah pusat, iuran tetap, dan iuran produksi yang dihasilkan dari wilayah daerah yang bersangkutan.
“Dengan ketentuan yang limitative tersebut, maka pajak kelapa sawit mentah (CPO) tidak menjadi sumber Dana Bagi Hasil (DBH) dari sektor sumber daya alam khususnya perkebunan bagi daerah-daerah,” kata Darmayanti Lubis.
Oleh karena itu, kata Darmayanti DPD RI sebagai lembaga Negara penyalur aspirasi daerah, bersama-sama dengan daerah-daerah menyerukan agar dilakukan peninjauan kembali terhadap kebijakan regulasi yang memasung dan menghambat otonomi daerah, yaitu dengan mendorong perubahan UU Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, dan UU Pemerintah Daerah.
“Ini perlu dilakukan dalam rangka melindungi kelestarian lingkungan, dan agar sumber daya alam di daerah tidak tereksploitasi secara tidak proporsional akibat kebijakan pusat yang melihat daerah hanya sebagai bagian dari kekuasaan dan kewenangan pusat,” pungkasnya. (chan)