PARLEMENTARIA.COM – Kebijakan pemerintah mengumumkan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium yang kemudian beberapa jam kemudian diturunkan lagi, menunjukan pemerintah tidak konsisten.
“Ketidak kekonsistenan ini menunjukan pemerintah tidak serius mengurus negara,” tegas Direktur Ekseutif Energy Watch Indonesia, Ferdinand Hutahaen dalam diskusi Empat Pilar MPR bertema “Fluktuasi Harga BBM, Sesuai Konstitusi?” bersama nara sumber anggota MPR dari Partai Golkar Satya Widya Yudha, Senin (15/10/2018).
Ferdinand yakin bahwa sebelum Menteri ESDM Ignatius Jonan mengumumkan kenaikan harga BBM jenis premium itu, sudah berkonsultasi dengan Presiden Jokowi. Akan tetapi, setelah Jokowi mendapat masukan dari penasihat politik maka sikapnya pun berubah.
“Ini tahun politik dan tentu ada pertimbangan politiknya. Artinya Presiden Jokowi lebih memilih mempertahankan elektabilitas ketimbang menaikkan harga BBM jenis premium,” ujarnya.
Dengan tidak menaikan harga premium tersebut, jelas Ferdinand, Pertamina menanggung kerugian besar dari selisih harga produksi dengan harga jual. Karena subsidi BMM jenis premium tersebut tidak ada dalam APBN.
“Seharusnya Presiden Jokowi jujur saja. Jika memang mencintai rakyatnya masukan saja subsidi BBM premium itu dalam APBN. Tinggal menyampaikan ke DPR. Ini kan menjadi beban Pertamina. Pertamina kan gak mau juga menanggung kerugian besar maka distribusi premium itu dikurangi maka sering diditemui premium sering habis di SPBU,” jelasnya.
“Kerugian Pertamina ini luar biasa, mencapai puluhan triliun setiap bulan. Saya prediksi kalau ini terus terjadi selama tiga bulan, Pertamina akan collaps, apalagi utang Pertamina mencapai Rp 150 triliun,” sambung Ferdinand.
Sebenarnya menurut Ferdinand, sudah ada aturan tata cara tentang pengadaan, distribusi dan BBM, yaitu Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Masalah menjadi muncul karena pemerintah sekarang tidak konsisten dengan aturan yang dibuat. Evaluasi tidak dilakukan periodik.
“Sehingga ketika memang pada saat kondisinya memaksa harga barang ini harus naik, pemerintah jadi kelabakan sendiri karena inkonsistensi tadi. Andaikan peraturan yang dilaksanakan konsisten, saya pikir ini akan menjadi sebuah rutinitas yang tidak menimbulkan pertanyaan masyarakat,” jelasnya. (chan)