RIAUMANDIRI, JAKARTA – Jika Paris, Milan, Barcelona, London, New York, atau Tokyo dapat mewarnai fashion dunia, maka Jogjakarta bisa melakukan dialog cerdas berdasar seni-budayanya yang unik, berkarakter, dan melimpah.
Demikian dikatakan anggota DPD RI GKR. Hemas pada pembukaan Simposium Internasional dalam rangka Jogja International Batik Biennale (JIBB) 2018 di Jogjakarta, Rabu (3/10/2018).
Dikatakan, sejak Jogjakarta ditetapkan sebagai Kota Batik Dunia tahun 2014 oleh Dewan Kerajinan Dunia atau World Craft Council (WCC), otomatis menempatkan Jogjakarta sebagai role model dalam memperlakukan batik.
“Pelaksanaan JIBB 2018 merupakan kegiatan yang ke-2 dan upaya untuk mereplikasi dan mendiseminasikan ke masyarakat batik Indonesia”, kata GKR. Hemas.
Dihadapan Presiden WCC Regional Asia Pasifik Dr. Ghada Hijjawi, GKR. Hemas selaku Ketua Dekranasda DIY juga menyampaikan, dengan mengusung tema: “Innovation for Sustainable Future”,JIBB 2018 akan dilaksanakan tanggal 2 s.d. 6 Oktober 2018.
Direncanakan beberapa rangkaian kegiatan. Mulai dari Pre-Event, yang diisi Road-Show ke pusat-pusat batik ori-klasik di Jawa. Dicanangkan Gebyar-Batik di semua Kabupaten/Kota, yang memiliki corak batik ciptaan, penanda identitas daerah yang diinspirasi dari sumber potensi lokalnya masing-masing.
Dilanjutkan Great-Event, sekuel kegiatan, yakni: Simposium, Fashion-Show, Lomba-Desain, Pameran, Bazar, Heritage-Tour,Workshop. Dari Pameran, digelar batik klasik Kraton Jawa, dan beragam jenis batik kontemporer buatan perajin, dan batik kreatif karya-cipta seniman batik.
Semua kegiatan itu jika dipadatkan, mengekspresikan lima hal, pertama menyajikan orisinalitas sejarah batik yang berakar dari tradisi lokal, kedua edukasi dan pemberdayaan, tiga pemasaran global, empat adaptasi terhadap tren fesyen dunia, dan kelima pro-lingkungan yang berkelanjutan.
“Dari serial kegiatan itu, kita bisa melihat bagaimana Desa mengukuhkan diri sebagai Pusat Batik Kabupaten. Di sana disajikan Forest Fashion-Show, Teaching-Factory di Sekolah Kejuruan, Demo-Batik warna alam dilanjut penanaman pohon warna alam, dan diakhiri Workshop dalam suasana dan suguhan kuliner Desa”, ujar GKR. Hemas.
Dari rangkaian kegiatan itu juga dibuktikan, bahwa predikat itu dimaknai sebagai tanggungjawab kolektif untuk diaktualisasikan menjadi program aksi yang berkelanjutan, agar batik eksis di tengah masyarakat, layaknya sebuah monumen hidup.
“Itulah maksud UNESCO, mengapa tahun 2009, batik dikukuhkan sebagai representasi “Budaya Tak Benda Warisan Kemanusiaan”, yang koheren dengan penetapan “Yogya Kota Batik Dunia” tahun 2014 oleh WCC”, tegas Hemas.
Batik sebagai sub-sektor kerajinan dunia yang penting akan selalu dijaga olehtradisi, disemangati oleh inovasi, dan dihidupi oleh nilai ekonomi, sebagai modal sosial dan modal komersial menuju pasar regional dan global dengan membawa harapan masa depan yang berkelanjutan, sesuai tren fesyen generasi milenial. (sam)