www.domainesia.com
HeadLinePolhukam

Farouk Muhammad: Australia Harus Menghormati Hukum di Indonesia

×

Farouk Muhammad: Australia Harus Menghormati Hukum di Indonesia

Sebarkan artikel ini
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Farouk Muhammad (kiri) bersama Dosen Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita dalam diskusi Dialog Kenegaraaan yang diselenggarakan bertema "Eksekusi Mati Terpidana Narkoba: Dampak Hukum,Ham dan Politik" di Gedung DPD RI, Rabu (25/2). Foto dardul.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Farouk Muhammad (kiri) bersama Dosen Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita dalam diskusi Dialog Kenegaraaan yang diselenggarakan bertema  "Eksekusi Mati Terpidana Narkoba: Dampak Hukum,Ham dan Politik" di Gedung DPD RI, Rabu (25/2). Foto dardul.
Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Farouk Muhammad (kiri) bersama Dosen Hukum Pidana Universitas Padjajaran Romli Atmasasmita dalam diskusi Dialog Kenegaraaan yang diselenggarakan bertema “Eksekusi Mati Terpidana Narkoba: Dampak Hukum,Ham dan Politik” di Gedung DPD RI, Rabu (25/2). Foto dardul.

JAKARTA, Wakil Ketua DPD RI Farouk Muhammad menegaskan penerapan hukuman mati pemerintah harus tegas dan konsisten, dan negara lain seperti Australia harus menghormati proses penegakkan hukum di Indonesia.

“Negara lain harus memahami proses dan penegakan hukum kita. Tak boleh ada intervensi asing dan kita harus konsisten. Kalau Brasil dan Australia mau memutuskan hubungan diplomatik, ya silakan saja. Tapi, jangan Indonesia yang memulai,” tegas purnawirawan berbintang tiga itu.

Hal tersebut ditegaskan Farouk dalam dialog kenegaraan bertama “Eksekusi Mati Terpidana Narkoba: Dampak Hukum,Ham dan Politik”, bersama pakar hukum pidana Romli Kartasasmita dan Haris Azhar dari Kontras di Gedung DPD RI Jakarta, Rabu (25/2).

Ia setuju jika pelaku kasus narkoba dihukum mati. “Narkoba itu sebagai kejahatan kemanusiaan karena sasarannya adalah otak manusia. Kalau otaknya sudah rusak, maka manusia itu akan rusak pola pikir dan perilakunya dalam masyarakat. Itulah yang merugikan kemanusiaan dan anak bangsa ini,” tegas Farouk Muhammad.

Namun demikian sambung Farouk, kalau ada upaya penghapusan hukuman mati, tentu bisa dilakukan secara bertahap, bukan serta-merta dihapuskan. Dan, bagi masyarakat yang mendukung penghapusan hukuman mati kata Farouk, sebaiknya bisa dilakukan melalui rapat dengar pendapat dengan Komisi II DPR RI. “Ya, silakan saja terjadi pro dan kontra. Tapi, penghapusan itu tidak bisa serta-merta sekarang ini, dan negara lain harus menghormati kedaulatan hukum bangsa ini,” tambahnya.

Romli Kartasasmita menilai tak ada yang salah dengan penerapan hukuman mati. Apalagi dampak narkoba itu sangat dahsyat di mana satu gramnya bisa membunuh 40-an orang. Berbeda dengan pembunuhan terencana yang hanya mengorbankan satu jiwa.

“Dunia internasional pun harus menghormati negara yang masih menerapkan hukuman mati. Termasuk protokoler-ratifikasi hukuman mati PBB. Jadi, posisi Indonesia di dunia internasional sudah benar dan ini menyangkut kedaulatan hukum dan harus diterapkan secara konsisten,” jelasnya.

Kalau Australia dan Brasil menolak hukuman mati kata Romli, kenapa tidak menarik warganya untuk diadili di Austrlia? “Tapi, kalau tidak ada perjanjian ekstradisi, kenapa menolak? Seperti kasus sebelumnya, Corby waktu PM Australia dijabat oleh Howard, ternyata dia sedang kampanye untuk mengikuti pemilu agar terpilih lagi sebagai PM Asutralia. Presiden SBY pun telah memberi grasi. Demikian juga Tony Abbott sekarang,” katanya.

Coba bandingkan dengan Malaysia dan Singapura, membawa 10 gram narkoba saja sudah kena hukuman mati. Mengapa? Menurut Romli, karena kejahatan narkoba itu termasuk kejahatan transnasional yang hukumannya minimal 4 tahun penjara dan hukuman mati.

“Jadi, pemerintah sekarang ini sudah tepat dan berani mengatakan tidak kepada intervensi asing. Hanya tinggal diplomasi yang harus ditingkatkan ke depan, agar tidak sampai terjadi pemutusan hubungan diplomatik,” tambahnya.

Dengan demikian kata Romli, dengan hukuman mati tersebut sebagai bukti ada negara dan ada kepala negara untuk melindungi warga negaranya dari darurat narkoba, dan itu perintah konstitusi. Karena itu, negara memberi asas proporsionalitas kepada korban narkoba untuk membuktikan bahwa dirinya tidak terlibat narkoba tersebut di pengadilan. “Kalau memang merasa tidak terbukti, maka buktikan hal itu di pengadilan,” saran Romli lagi.

Dikatakan, kejahatan narkoba itu termasuk kejahatan yang dimotori internasional dan melibatkan kartel-mafia internasional. Karena itu, kalau tidak dicegah dari sekarang, maka akan membahayakan bangsa ini. “Jadi, menentukan suatu kejahatan itu termasuk kejahatan internasional atau bukan, tidak tergantung apakah terdaftar atau tidak di international crime. Seperti teroris, dan kemiskinan yang sedang dikaji sekarang, karena menjadi ancaman suatu negara,” ungkapnya.

Sementara itu Haris Azhar tetap menolak hukuman mati narkoba tersebut, karena tidak terrdaftar dalam kejahatan internasional. Persoalannya kata Haris,”Cukup jerakah dengan penerapan hukuman mati itu. Kalau iya, maka itu terlalu liberal. Jadi, saya melihat penolakan Presiden Jokowi terhadap 64 terpidana mati ini adalah untuk popularitas dan pencitraan saja. Harusnya Jokowi melakukan pengakjian terlebih dahulu secara mendalam meski telah diputuskan oleh Mahkamah Agung,” katanya. (chan)