www.domainesia.com
HeadLinePengawasan

Jokowi Jangan Gunakan Intelejen untuk Mengekang Pers

×

Jokowi Jangan Gunakan Intelejen untuk Mengekang Pers

Sebarkan artikel ini

JAKARTA – ketua Komisi I DPR Mahfudz Siddiq membenarkan bahwa salah satu unit kerjaBadan Intelejen Negara (BIN) adalah yang membidangi persoalan media masa yang kerjanya melakukan analasis terhadap semua pemberitaan media. Dari analisa dilaporkan disampaikan kepada kepada Kepala BIN dan presiden.

“Tapi catatan pentingnya bahwa semua analisis dan rekomendasi dari intelejen itu, adalah termasuk dari semua pengambilan keputusan ataau kebijakan. Jangan malah dijadikan instrumen untuk mengekang kemerdekaan dan demokratisasi pers. Jangan sampai presiden menggunakan intelejen untuk mengekang kebebasan pers atau memberangus pers.Saya sendiri tidak tahu pesan politik apa yang ingin disampaikan  Jokowi dengan pernyataannya itu.Kita lihat saja nanti,” ujar Mahfud kepada wartawan di Jakarta, Kamis (8/1).

Menurut Wasekjen DPP PKS itu, seseorang  yang memiliki popularitas tinggi, apalagi seorang presiden seperti Jokowi wajar-wajar saja diberitakan, meski Presiden populer itu bisa mengarah pada dua kemungkinan; yaitu mendorong demokrasi karena itu nafas kekuatan pemimpin yang demokratis atau sebaliknya bisa terjebak menjadi pemimpin yang otoriteris.

“Pemimpin otoriter biasanya terlalu khawatir dengan popularitasnya terganggu jika ada yang mengkritik. Jadi, jangan sampai untuk mengekang kebebasan pers dan demokrasi itu sendiri. Apalagi pers saat ini sudah terpolarisasi, yaitu ada media-media yang secara total mendukung seluruh kebijakan pemerintahan ada media yang terus menerus mengkritisi kebijakan pemerintah. Itu biasa saja,” ujarnya.

Untuk itu dia mengingatkan bahwa pemerintah itu memang memerlukan keseimbangan pemberitaan pers, sehingga tak perlu mematai-matai kinerja pers. “Jadi, pemerintah jangan ikut campur mencoba menyeimbangkan dengan persepsinya sendiri. Kalau diperlukan keseimbangan, biarkan media itu sendiri, jangan pemerintah mengintervensi untuk menciptakan keseimbangan menurut persepsi pemerintah,” pungkasnya.

Sementara itu menurut Wakil Ketua Komisi I DPR RI FPG Tantowi  Yahya, dirinya mengasumsikan selama ini hubungan media dan Jokowi mesra. Tapi, kaget ketika dikonfirmasi wartawan yang mengatakan adanya dugaan pengekangan terhadap  pers dan pernyataan Jokowi dinilai mereka sebagai tanda matinya kebebasan pers.

Dia mengaku kaget dengan pernyataan Presiden Jokowi yang mematai-matai ratusan media nasional. Karena menurutnya selama ini hubungan pers dan Jokowi sejak menjadi walikota, gubernur dan menjadi presiden terlihat sangat indah dan mesra, sehingga kini sangat aneh kalao Jokowi saat ini akan melakukan intervensi itu.

“Saya kaget membaca statement Pak Jokowi seperti khawatir dengan pers saat ini. Padahal yang kami tahu hubungan Jokowi sejak menjabat walikota, gubernur dan presiden tampak mesra dan terus makin populer. Jadi aneh, kalau Jokowi saat ini memata-matai pers yang telah membantu mengantarkannya menjadi presiden.Bahkan beberapa media cenderung memberitakan berlebihan apapun aktivitas Jokowi,” tambahnya.

Ketua DPP Partai Golkar bidang media itu menilai, bahwa analisa intelejen terhadap media selalu dilakukan sebagai bahan masukan terhadap presiden dalam menentukan kebijakan pemerintah. Namun tidak ada satupun presiden sebelum Jokowi yang mengemukakan hal itu. “Kalau tujuan memata-matai media dalam rangka meredam kebebasan pers dalam perspektif pers yang mengkritik pemerintah dianggap musuh maka itu sebagai kemunduran,” tutur Tantowi.

Padahal lanjut Tantowi, setiap kegiatan di luar pemerintahan harus diobservasi dan diperhatikan pemerintah dan itu fungsi dari BIN dalam rangka memberikan masukan kepada pemerintah. Dalam konteks itu sah-sah  saja, namun memata-matai untuk mengekang pers maka itu kemunduran dan tidak boleh dibiarkan, karena kemerdekaan pers didapatkan dengan pengorbanan darah dan air mata reformasi Mei 1998.

Tantowi mengakui adanya sedikit perubahan pola pemberitaan pers terhadap Jokowi akhir-akhir ini. Di mana pers sudah berani mengkritik langkah-langkah Jokowi. Tapi, hal itu biasa dan tidak perlu dikhawatirkan.

“Terbukti, Jokowi dan pemerintahannya memanfaatkan kebuntuan hubungan dengan DPR belakangan ini dengan mengambil langkah-langkah yang inkonstitusional dan  tidak mengindahkan keberadaan DPR. Jadi, wajar kalau media kemudian mengkritik langkah-langkah  pemerintah. Maka, kalau langkah itu inkonstitusional dan merugikan rakyat seperti menaikan harga BBM beberapa waktu lalu, ya harus dikritisi,” katanya.

Karena itu Tantowi meminta Jokowi untuk tidak terus menggerus pilar-pilar demokrasi karena 4 pilar demokrasi itu ibarat 4 kaki meja, yang saling menjaga agar meja tetap berdiri. ”Ya, 2 pilar demokrasi yaitu Parpol sudah dicoba ditumpulkan dengan mengacak-acak parpol, kini kalau itu dilakukan pada pers, maka demokrasi akan hancur. Padahal, demokrasi dan negara demokrasi itu harus ditopang  oleh 4 pilar itu; eksekutif, legislatif, yudikatif dan pers,” pungkasnya.

Seacara terpisah Wakil Ketua Umum PPP hasil Mukatamar Jakarta, Fernita Darwis mengatakan kebebasan pers saat ini adalah  buah perjuangan para reformis yang akhirnya membawa perubahan stigma di bidan media yang kini dinikmati oleh masyarakat karena  bisa lebih terbuka dan transparan yang menjadi syarat penting demokrasi.

“Media amat berperan membesarkan para tokoh-tokoh dengan pencitraan yang di publikasikan seperti yang dilakukan untuk membesarkan dan mempopulerkan Jokowi yang tadinya tidak di kenal namun karena publikasi yang besar-besaran menjadi seseorang yang amat terkenal, meski minim prestasi dan kini menjadi presiden,” ujar Fernita.

Pernyataan Jokowi itu menjadi sangat  karena intelejen itu digunakan untuk mewaspadai musuh, sehingga kalau kini Jokowi mengintelei media, apakah hal ini menurutnya satu tanda bahwa Jokowi saat ini menganggap media sebagai musuh yang harus dimata-matai yang bisa  mengakibatkan instabilitas negara.

“Jokowi sudah menganggap parpol di KMP sebagai musuh dan kalau sekarang menganggap media-media kritis sebagai musuh juga yang bisa mengancam maka bisa saja  kedepanya Partai Politik & Media di bubarkan karena mengganggu jalannya pemerintahan. Seandainya ini terjadi bagaimana ketatanegaraan bisa berjalan jika system yang mendasar di atur dalam UUD’45 di porak poranda dan di anggap hal biasa tidak lagi mengacu UUD’45, sebagaimana di ketahui Partai Politik & Media adalah Dua Pilar demokrasi yg juga dibangun oleh Bapak 4 Pilar Bpk. Taufik Kieamas,” tandasnya. (chan/mun)