Legislasi

Ketua DPD Surati Presiden Soal UU MD3

mahyuJAKARTA – Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Irman Gusman menyurati Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terkait Undang-Undang tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).

“Surat Ketua DPD bernomor HM.310/398/DPD/VII/2014 dan bertanggal 5 Agustus 2014 itu, sudah dikirim kepada Presiden hari Senin kemarin (4/8/2014),” kata Kepala Bidang Pemberitaan dan Media Visual DPD RI Mahyu Darma,” di Jakarta, Rabu (6//8/2014).

DPD menganggap banyak materi ayat, pasal, UU tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). DPD juga menganggap banyak substansinya yang tidak sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) ihwal konstitusionalitas hak dan/atau wewenang legislasi DPD, serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

“DPD mengharapkan Presiden memperhatikan sungguh-sungguh substansi dan materi UU MD3  tersebut karena banyak yang tidak sesuai dengan UUD 1945 dan putusan MK perkara nomor 92/PUU-X/2012 serta prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.  DPD mengharapkan Presiden agar memperhatikan sungguh-sungguh materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU itu sebelum ditandatangani,” kata Mahyu.

Materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU MD3 yang dinilai DPD tidak sesuai dengan UUD 1945 dan putusan MK perkara nomor 92/PUU-X/2012 menyangkut kedudukan dan peran DPD. Ketidaktaatan penyusun UU MD3  terhadap putusan MK itu merupakan pengingkaran UUD 1945, dan perkembangan ini adalah langkah mundur reformasi.

Disebut pengingkaran karena putusan MK menyatakan beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan bertentangan dengan UUD 1945 tapi justru terakomodir dalam UU MD3.  “Beberapa ketentuan yang seharusnya dimuat justru tidak dimuat dalam UU MD3,” kata Mahyu mengutip surat Ketua DPD.

Dalam perspektif hubungan antarlembaga perwakilan, beberapa ketentuan UUMD3 yang bermasalah seperti pengaturan diskriminatif antara DPR dan DPD, yaitu DPR tidak membahas dan menindaklanjuti pertimbangan DPD terhadap calon anggota BPK, serta perbedaan nama alat kelengkapan Mahkamah Kehormatan di DPR dan Badan Kehormatan di DPD.

Ketentuan lain yang bermasalah ialah kedudukan dan peran lembaga perwakilan, yaitu menyejajarkan DPD dengan alat kelengkapan DPR karena penyusun UU MD3 menyampaikan pertimbangannya atas RUU ke alat kelengkapan DPR.  Seharusnya DPD menyampaikannya ke forum pembahasan RUU dengan DPR dan Presiden. Berikutnya DPR tidak membahas dan menindaklanjuti hasil pengawasan DPD atas pelaksanaan UU, seharusnya DPR melakukannya sebagai manifestasi checks and balances.

Sedangkan materi ayat, pasal, dan/atau bagian UU MD3 yang banyak tidak sesuai dengan prinsip-prinsip penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN seperti penghapusan bagian penyidikian untuk anggota DPR, DPD, dan DPRD provinsi/kabupaten/kota; penghapusan ketentuan pejabat yang disandera habis masa jabatannya atau berhenti dari jabatannya yang bersangkutan dilepas dari penyanderaan demi hukum; penghapusan kewajiban DPR untuk melaporkan pengelolaan keuangan negara kepada publik dalam laporan kinerja tahunan; memindahkan fungsi Badan Anggaran (Banggar) DPR ke alat kelengkapan yang lain (komisi) kendati MK memutuskan agar Banggar DPR tidak membahas dan menetapkan alokasi anggaran per program yang bersifat tahunan dan tahun jamak; akuntabilitas anggota DPD; penghapusan larangan memberikan gratifikasi kepada anggota DPR, serta penutupan peluang masyarakat untuk mengajukan pengaduan kepada Badan Kehormatan (BK) DPR. (chan)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top