Ekonomi

Jusuf Kalla: Ikuti Paham Asing, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tidak tercapai

PARLEMENTARIA.COM– Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan, selama ini kebijakan ekonomi Indonesia terlalu mudah untuk mengikuti paham asing sehingga target pertumbuhan ekonomi Indonesia seperti yang diharapkan tidak tercapai.

Hal itu dikatakan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) ketika menyampaikan sambutan sebelum membuka Simposium Nasional dengan tema ‘Sistem Perekonomian Untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial Sesuai UUD NRI 1945’ yang digelar Lembaga Kajian MPR RI di Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/7).

Dikatakan, dengan tidak tercapainya pertumbuhan juga tidak tercapai pemerataan ekonomi sesuai yang diinginkan ideologi Pancasila. Saat ini, Indonesia tertinggal 10 tahun dari Malaysia dan Thailand. “Ini akibat kelemahan kebijakan masa lalu.”

Ketika terjadi krisis ekonomi 1998, salah satu penyebabnya bermula dari krisis kepercayaan di sektor perbankan. Kemudahan perizinan perbankan telah membuat 250 bank muncul karena siapa saja bisa memiliki bank asalkan memiliki modal.

Ketika itu, kata JK, pemerintah mengiktui alur pikir yang dianggap paling benar saat itu. Pemerintah kemudian memberikan jaminan menyeluruh atas kerugian bank (blanket guarantee) saat itu.

Akibatnya, ketika muncul krisis pemerintah harus mengeluarkan dana hingga hingga ribuan triliun yang dicatat sebagai kerugian. “Kita dengan mudah mengiktui satu paham ekonomi. Kita suka mengambil kebijakan yang hitam-putih.”

Kesalahan berikutnya adalah banyaknya subsidi terutama pada sektor energi. Subsidi sektor energi hampir mencapai Rp400 triliun atau 25 perseb dari seluruh anggaran. “Kerugian atas keduanya mencapai sekitar 6.000 triliun atau lima tahun kalau digunakan untuk membangun infrastruktur.”

Kalau pemerintah konsekuen, lanjut JK, DPR harus mendahulukan APBN yang lebih memberikan belanja besar ke pembangunan kemasyarakatan. Sekarang anggaran pembangunan tinggal 20 persen karena anggaran rutin sudah mencapai 80 persen.

Terkait ekonomi Pancasila, kata JK, pada dasarnya sistem ekonomi itu memperhatikan pertumbuhan dan pemerataan. Salah satu caranya dengan memperkuat kewirausahaan di kalangan generasi muda.

Sementara itu, Ketua Lembaga Pengkajian MPR RI, Rully Chairul Azwar mengatakan, simposium ekonomi yang didakan lembaga negara ini adalah refleksi ulang atas pemikiran para pendiri bangsa dalam mewujudkan keadilan sosial selain mewujudkan demokrasi yang mensejahterakan rakyat.

Dikatakan, implementasi dari sila kelima Pancasila yakni Keadilan Sosial Buat Seluruh Rakyat Indonesia masih jauh dari kenyataan. Ketimpangan sosial di Indonesia masih sangat tinggi.

Ketimpangan sosial yang tinggi dapat memicu meningkatnya sejumlah kekerasan yang dapat memperpecah persatuan bangsa. Oleh sebab itu, dia mengajak seluruh pihak untuk merenungkan masalah ketimpangan sosial ini.

Pada kesempatan yang sama, Ketua MPR Zulkilfi Hasan mengapresiasi simposium ini. Menurut dia, simposium itu penting dalam membicarakan mengenai tujuan bangsa Indonesia merdeka, berbangsa, dan bernegara, terutama karena setiap warga negara berhak untuk hidup sejahtera.
“Pasal 33 jelas bunyinya, negara bersumpah melindungi segenap Tanah Airn. Sila kelima, keadilaan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Dikatakan, sebenarnya tahun ini merupakan tahun mengurangi kesenjangan. Namun, faktanya banyak orang yang mengaku kepadanya bahwa ketimpangan sosial masih terus terjadi di beberapa daerah, dalam hal ini masalah kekayaan alam.

“Misalnya, di Kalimantan lahannya luas. Namun jika hasil pertaniannya harganya naik, tidak segembira di Sulawesi Selatan. Kalau di Sulawesi Selatan gembiranya luar biasa karena hasil pertanian dikelola oleh banyak rakyat. Kalau di Kalimantan dikelola oleh perkebunan besar,” ujarnya.

Diakui, saat ini banyak lahan-lahan rakyat dirampas oleh pihak-pihak yang mempunyai kekuasaan besar. Padahal, arti dari Pancasila itu gotong-royong, senasib sepenanggungan, dan kebersamaan.

“Kehilangan ekonomi tradisional. Jadinya, enggak bisa bertani karena berubah jadi daerah pertambangan dengan izin selembar kertas milik seseorang,” demikian Zulkifli Hasan. (art)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top