Ekonomi

Pengamat: Indonesia Tidak Konsisten Terapkan Ekonomi Pancasila

PARLEMENTARIA.COM– Ketua Kelompok Dewan Perwakilan Daerah (DPD) MPR RI, Prof Jhon Pieris mengakui bahwa perekonomian Indonesia sudah melenceng jauh dari cita-cita proklamasi khususnya pasal 33 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) tahun 1945.

Senator asal Provinsi Maluku tersebut mengakui, melenceng jauhnya cita-cita itu mungkin karena kesalahan kolektif stakeholder terutama parlemen yang tidak menjalankan fungsi kontrol dengan baik terhadap kedaulatan bumi, Sumber Daya Alam (SDA) yang kita kuasai sehingga dikelola swasta dan asing.

Hal itu dikatakan Jhon Peris dalam Diskusi Empat Pilar MPR di Press Room Gedung Parlemen Senayan, Jakarta, Senin (8/5). Selain Jhon juga tampil sebagai pembicara pakar ekonomi sekaligus Direktur Indef, Dr Enny Sri Hartati.

Kalau kita belajar Venezuela dan beberapa negara Asia misalnya, ungkap Jhon Peris, memang tanpa investor, tenaga ahli dan modal, agak sulit buat Indonesia menguasai SDA termasuk yang menjadi hajat hidup orang banyak itu. “Daya tawar Indonesia lemah,” kata dia.

Di Blok Marsella Provinsi Maluku yang memiliki cadangan diperkirakan 120 tahun tidak habis, Pertamin tidak mampu masuk karena kalah bersaing dengan dua investor besar seperti Shell. “Kekayaan yang ada di Marsella dikuasai asing, sedangkan Pertamina berada dibawah bayang-bayang investor asing itu. “Kita tidak berdaya,” kata dia.

Jhon juga menyebutkan bahwa perundang-undangan sebagai penterjemahan dari pasal 33 UU NRI tahun 1945 tersebut banyak yang sudah melenceng termasuk dengan Keppres maupun Kepmen khususnya langkah untuk mensejahterakan rakyat.

Namun, Jhon tidak menjelaskan secara detail Inpres maupun Kepmen mana yang melenceng. “Saya kurang tahu, apakah UU pokok energi, Migas dan sebagainya itu sudah secara gamblang mengatur kedaulatan kekayaan alam, bumi, air dan ruang angkasa itu atau tidak.”

Selain itu juga perlu ketegasan pemerintah dalam menerapkan UU seperti yang terjadi di Freeport. Selain kontrak kerja harus ditinjau ulang, juga tidak jelas bagaimana kewajiban membangun smelter. “Akses agak sulit karena penyertaan modal yang sedikit. Ini harus dicarikan jalan ke luarnya,” kata Jhon.

Jhon mengaku, dia baru kembali dari Myanmar. Pasokan gas negara itu ke China distop militer. “Myanmar itu sosialis tetapi mirip mirip Iraq. Hanya saja, bisnis minyak dan gas di negara itu dikelola para jenderal-jendral juga. Jadi, rakyat Myanmar tetap memakan buah simalakama.”

Sementara itu Enny Sri Hartati mengatakan, sebenarnya ekonomi Pancasila yang dibangun para pendiri bangsa itu sudah benar. Hanya saja, para penyelenggara negara ini tidak konsisten menerapkannya sehingga jadinya seperti yang ada sekarang.

Negara kapitalis saja, lanjut Enny, malah mencontoh apa yang pernah dilakukan Indonesia yakni dengan memberikan subsidi. Bahkan mereka melakukan proteksi terhadap produk-produk mereka untuk bisa bersaing. “Kita, malah mencabut subsidi dan tidak melakukan proteksi. Ekonomi Indonesia sangat liberal dan jauh dari pada ekonomi Pancasila,” kata dia.

Menurut Enny, ekonomi Pancasila itu bukan berarti Indonesia anti persaingan dan anti penghematan. “Tidak bisa diterjemahkan secara parsial. Jadi, ekonomi Pancasila itu adalah ekonomi kekeluargaan dimana dibangun secara bersama-sama sehingga ekonomi rakyat hidup, tidak saling memakan satu sama lain seperti yang ada sekarang,” demikian Enny Sri Hartati. (art)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top