Oleh Dr. Fadli Zon, M.Sc.* –
DUA hari lalu, Rabu, 20 Maret 2019, Litbang Kompas merilis hasil survei yang kemudian jadi perbincangan nasional. Sebabnya, jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo, menurut survei Kompas tersebut, telah terpangkas lebih dari 50 persen jika dibandingkan dengan survei-survei lembaga lainnya. Lima hari lalu, misalnya, dalam publikasi SMRC, jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo masih terpaut 25,8 persen. Tapi dua hari lalu, menurut survei Kompas, jarak elektabilitas itu tinggal 11,8 persen saja. Dalam survei internal Prabowo-Sandi malah sudah unggul beberapa persen.
Adanya selisih yang besar antara hasil survei satu lembaga dengan lembaga lainnya yang dipublikasikan sepanjang bulan Maret ini tentu saja pantas membuat kita tersenyum. Bagaimana tidak tersenyum?! Semua survei mengklaim dirinya obyektif, ilmiah, dan ketat secara metodik, namun survei-survei yang dilakukan pada waktu yang berdekatan itu, serta dipublikasikan hanya berselang hari, ternyata menghasilkan angka-angka dengan jurang menganga.
Dan yang membuat senyum kita kian melebar, kemarin, Kamis, 21 Maret 2019, lembaga survei Indo Barometer juga telah mempublikasikan survei terbarunya. Hasilnya kembali drastis. Jarak elektabilitas antara Jokowi dengan Prabowo kembali berada di atas 20 persen. Terus terang saya agak geli membacanya.
Angka-angka survei yang timpang satu sama lain saya kira telah membuat publik kian tersadarkan bahwa tak ada lembaga survei yang independen di Indonesia. Sebab, semua lembaga survei yang ada telah merangkap jadi konsultan politik yang bekerja untuk menyukseskan kepentingan partai atau kandidat tertentu. Mereka bekerja seperti layaknya pengacara yang sedang membela kliennya. Mereka adalah bagian dari industri politik yang kerjanya mencari keuntungan.
Coba saja lihat hasil Pilkada DKI, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Semua lembaga survei meleset jauh, bisa ratusan persen. Artinya lembaga survei gagal total memotret realitas masyarakat sesungguhnya. Malah jadi “teror” terhadap lawan-lawan politik kliennya.
Sejarah lembaga survei di Indonesia memang berimpit dengan tumbuhnya lembaga-lembaga konsultan politik. Itu sebabnya survei politik yang dipublikasikan di Indonesia tidak bisa dijadikan alat untuk memetakan pendapat publik, karena sebenarnya survei tersebut digunakan untuk menggiring opini publik, dijadikan sebagai alat framing, alat kampanye atau alat propaganda.
Jadi, dalam dunia politik Indonesia, survei lebih merupakan infrastruktur imagologi, atau pencitraan. Itu sebanya akurasinya pantas dipertanyakan.
Ke depan, untuk kepentingan regulasi Pemilu dan Pilpres, kita perlu menegaskan norma bahwa ketika lembaga survei direkrut menjadi konsultan oleh partai politik atau kandidat yang berlaga dalam Pemilu, maka mereka harus diposisikan sama seperti halnya tim kampanye. Jadi, partai politik dan kandidat harus mendaftarkan nama konsultan atau lembaga survei yang mereka pekerjakan.
Kita perlu merumuskan kebijakan semacam itu demi transparansi, sekaligus untuk melindungi hak-hak publik. Agar publik kemudian tahu lembaga survei A, misalnya, ternyata merupakan konsultannya partai X atau calon Y. Sehingga, setiap hasil survei mereka bisa dicerna secara kritis oleh publik pemilih. Dengan begitu, risiko terjadinya manipulasi hasil surveipun bisa terminimalisir.
Ini merupakan cara yang fair untuk mengawasi lembaga-lembaga survei, sekaligus melindungi kepentingan publik dari manipulasi informasi, serta disinformasi yang dilakukan oleh mafia survei. Demokrasi kita harus kian transparan. Jangan sampai lembaga survei jadi predator demokrasi karena memanipulasi opini publik demi kepentingan klien mereka. (*Wakil Ketua DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra).