Polhukam

Gunakan Fungsi Ganda,  Lembaga Survei  Bisa Menjadi Predator Demokrasi

PARLEMENTARIA.COM – Wakil Ketua DPR Fadli Zon menilai ada persoalan yang mendasar dalam perkembangkan lembaga survei di Indonesia karena fungsinya sebagai lembaga survei berhimpit dengan lembaga konsultan politik.
“Kenyataannya banyak lembaga survei di Indonesia ini merangkap menjadi konsultan politik,  jadi dia bukan sebagai lembaga survei independen,” kata Fadli Zon dalam diskusi “Realita atau Rekayasa”, di Media Center DPR, Kamis (21/3/2019) bersama Direktur Program Saiful Mujani Research Consulting (SMRC), Sirajudin Abbas, anggota DPR dari PDIP Maruara Sirait dan pengamat Musni Umar.
Kalau lembaga survei berhimpit dengan konsultan politik kata Wakil Ketua Umum Partai Gerindra itu, maka akan ada conflict of interest. Lembaga survei akan menjadikan survei itu sebagai alat propaganda, alat kampanye dari yang membayar.
“Dia sebetulnya diam-diam sudah punya kolaborasi dengan salah satu kontestan, dan mendapatkan tentu saja kontrak, dibayar untuk berapa kali survei dan kemudian sekaligus menjadikan juga konsultan politik,” jelasnya.
Hal tersebut yang membuat lembaga survei bisa menjadi predator demokrasi, predator politik karena mereka ini menjadi mafia survei karena pekerjaan mereka itu bukan lagi pekerjaan untuk menciptakan suatu gambaran publik yang sesungguhnya. Tetapi apa yang diharapkan pihak yang membayar.
“Memang tidak semua ya. Menurut saya ini membahayakan bagi demokrasi kita,” kata Fadli Zon sembari mencontohkan hasil-hasil survei dalam Pilkada DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Tengah yang hasil pilkada jauh meleset dari hasil survei sebelumnya.
Fadli Zon juga mempersoalkan metodologi yang dilakukan lembaga survei. Metodologi yang digunakan dinilai Fadli Zon sudah kuno, dengan begitu melimpah ruahnya informasi yang luar biasa,  asymmetric information dan tidak ada lagi dominasi informasi.
“Saya kira harus ada  evaluasi total terhadap metodologi ini. Pada waktu pemilihan Presiden Amerika 2016, Donald Trump itu juga diprediksi oleh hampir semua lembaga survei itu kalah. Bahkan New York Times mengatakan 85% Hillry clinton menang. Donald Trump itu hanya dikasih 15%. Ternyata Donald Trump yang menang,” jelasnya.
Menurut Fadli Zon, persaingan antara bapak Prabowo dan Jokowi dalam demokrasi adalah hal yang biasa. Kemenangan Jokowi tahun 2014, tidak lebih dari 5% meski menyisakan persoalan dengan mengugat ke MK terkait dengan kecuranga, penghitungan.
“Tetapi begitu selesai, upaya untuk mendapatkan keadilan melalui MK, Prabowo pada saat itu dengan  jiwa besar mengakui kemenangan pak Jokowi. Bahkan  datang di dalam pelantikan. Yang itu tidak dilakukan misalnya oleh ketua umum pak Maruari Sirait (Megawati -red) terhadap bapak SBY,” kata Zon. (chan)
Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top