PARLEMENTARIA.COM – Anggota Komis VIII DPR Rahayu Saraswati Djojohadikusumo mengungkapkan, Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) baru akan dibahas bulan Mei, setelah pelaksanaan Pemilu 2019.
“Pembahasan kemungkinan besar akan dilakukan di bulan Mei, setelah pilpres dan pileg,” kata anggota DPR dari Fraksi Gerindra itu dalam diskusi “Progres RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)”, di Media Center DPR, Selasa (26/2/2019). Pembicara lainnya Komisioner Komnas Perempuan Imam Nahei.
Rahayu Saraswati merasa aneh saja karena RUU tersebut sudah menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat yang menyebutkan sudah disahkan. “Kalau tahun lalu polemiknya adalah kenapa kok mandek, kenapa belum dibahas. Sekarang polemiknya adalah kok tiba-tiba sudah mau disahkan, padahal dibahas saja belum,” ungkapnya.
Dia memaparkan, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tersebut itu diajukan oleh beberapa anggota DPR yang duduk di Badan Legislsi (Baleg) sebagai RUU yang dajukan oleh anggota DPR yang kemudian disetujui menjadi RUU Inisiatif DPR tahun 2017.
“Jadi RUU ini di tangkap atau di dorong ke Baleg oleh rekan-rekan saya waktu itu adalah Ami Surya (PAN) dan juga Nini Wafiroh (PKB). Ini supaya jelas siapa yang waktu itu mengajukan di Badan Legislasi,” terangnya.
Kemudian setelah disahkan menjadi RUU, baru diajukan ke Bamus dan Bamus akhirnya menyepakati untuk dibahas oleh Panja di komisi VIII dan suratnya baru masuk di komisi VIII pada akhir 2017. Pembentuk Panja RUU PKS baru dilakukan diawal 2018.
“Jadi pembahasan itu sendiri sebenarnya belum terjadi. RUU ini sudah diajukan, akhirnya sudah ada panjanya yang ada di komisi VIII tetapi baru ada rapatsekali dengan Panja pemerintah dan Panja pemerintah langsung mengajukan DIM awal,” jelasnya.
Panja RUU PKS adalah melakukan rapat dengar pendapat umum dengan tokoh-tokoh masyarakat, akademisi tokoh agama dan seterusnya, sikolog bahkan bahkan juga dengan Komnas perempuan dan forum pengaduan layanan selaku perancang dari RUU ini.
“Jadi supaya jelas dulu bahwa pembahasan di DPR itu belum dilakukan. Mungkin selama ini draft keliling, tersebar itu draft awal, draf yang diajukan oleh lembaga dan masyarakat, belum dari DPR. Jadi belum ada sama sekali masukan dari fraksi-fraksi. Ini supaya clear semuanya,” tegasnya.
“Kalau dikatakan bahwa sudah dekat ke pengesahan ya nggak juga. sebab pembahasan belum dilakukan. Jadi ini yang harus kita jelas terlebih dahulu, sehingga semua masukan dari masyarakat masih sangat bisa diterima dan ditampung melalui fraksi-fraksi,” ulasnya.
Dijelaskan bahwa Komnas Perempuan yang merupakan salah satu perancang RUU tersebut. “Ini yang perlu juga kami jelaskan, yang merancang adalah Komnas Perempuan, lembaga negara bersama masyarakat melalui forum pengaduan layanan dan pendamping dari korban kekerasan seksual di seluruh Indonesia,” jelasnya.
Sedangkan Imam menjelaskan, Komnas Perempuan salah satu lembaga negara bekerjasama dengan masyarakat, termasauk pengadua layanan mendorong DPR segera untuk membahas RUU yang diharapkan menjadi solusi kekosongan hukum bagi korban yang megalami kekerasan seksual.
“Mungkin hal yang penting yang patut diketahui oleh kita semua adalah saat ini RUU ini sekan-akan sudah disahkan bahkan juga ada kelompok-kelompok yang menolak dengan keras. Nah, ini yang sesungguhnya perlu kita sayangkan karena sesungguhnya ini belum apa-apa, masih bisa menerima banyak masukan masukan dari masyarakat, termasuk komunitas agama,” jelasnya.
Dia menyebutkan beberapa alasan penolakan dari masyarakat terhadap RUU tersebut. Pertama, karena menggunakan bahasa kekerasan, bukan menggunakan bahasa kejahatan. Jadi masyarakat yang menolak ini dan mengusulkan kekerasan diganti dengan kejahatan. Krena kejahatan itu lebih luas cakupannya sementara kekerasan itu lebih lebih sempit.
Pertimbangan Komnas Perempuan menggunakan kata kejahatan, karena kalau kejahatan itu selalu ada pelaku dan korban. Kemudian pelaku ini ada pidananya. Sementara RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pelakunya tidak harus dihukum tetapi bisa direhabilitasi. Bisa jadi dalam kekerasan seksual, baik pelaku yang secara normatif sebagai pelaku, hakekatnya adalah korban, sehingga tidak layak dijatuhi hukuman tetapi di rehabilitasi.
“Sebetulnya Komnas Peremnpuan tak terlalu mempermasalah persoalan ini, yang penting substansi dari RUU Kekerasan Seksual itu tidak tercerabut, yaitu melihat kebutuhan korban terhadap akses keadilan pemulihan,” jelasnya. (aam)