Oleh: Pangi Syarwi Chaniago* –
PERATURAN Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 20 Tahun 2018 yang memuat larangan bagi mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif menuai polemik dan prokontra.
Mahkamah Agung (MA) meloloskan uji materi terhadap peraturan tersebut dan menyatakan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi yakni undang-undang Pemilu. Banyak masyarakat dan aktifis anti korupsi sangat kecewa berat dengan putusan MA tersebut.
Dari sisi hukum, putusan MA yang membatalkan PKPU yang melarang eks-napi korupsi menjadi caleg tidak lah salah. Sebab, putusan itu terkait dengan UU Pemilu yang multitafsir, yang tidak tegas melarang eks napi koruptor menjadi caleg.
Putusan MA dihujat, MA mendapat sintemen negatif, terkesan berpihak/membela sang koruptor dan tidak mendapat dukungan publik. Namun MA tetap konsisten secara ajek dengan basis negara hukum (rule of law) dan trayek peraturan perundang-undangan yang jelas, bukan bertindak berdasarkan asumsi, persepsi, apalagi negara berdasarkan arus opini publik.
Ini sangat penting ditegaskan bahwa hirarki perundang-undangan, tidak boleh PKPU bertentangan dengan peraturan/UU di atasnya dalam hal ini UU pemilu.
Sering kali upaya pemberantasan korupsi nampak terkesan dihadang UU hanya karena mendudukkan kasta perundang-undangan sesuai posisinya. Ya itu lah, karena kita negara hukum, semua mestinya ada trayek prosedurnya, dibutuhkan kesabaran, dengan landasan yang kuat maka agenda pemberantasan korupsi makin kinclong.
Secara substansial, kita akui dan apresiasi maksud baik dari KPU sebagai penyelenggara pemilu untuk melahirkan demokrasi berkualitas dan pemimpin yang berintegritas.
Namun sangat disayangkan, tujuan serta niat yang baik dari KPU tentunya harus berdasar pada basis aturan yang jelas dan jangan malah melanggar aturan undang undang dan konstitusi.
Peraturan KPU yang memuat larangan kepada eks napi koruptor setidaknya mengindikasikan bahwa; Pertama, KPU sebagai penyelenggara pemilu sudah melampaui kewenangannya dengan mengeluarkan aturan yang sangat substansial menyangkut pembatasan hak politik bahkan telah merampas hak politik warga negara.
Pencabutan hak politik seseorang mestinya dituangkan dalam UU atau via putusan pengadilan bukan, bukan dituangkan dalam PKPU. Artinya peraturan mengatur soal mantan napi korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif bukan domain kewenangan KPU.
KPU hanya berwenang mengeluarkan aturan teknis terkait penyelenggaraan pemilu yang jurdil, luber dan objektif bukan malah mengurusi urusan yang menjadi kewenangan lembaga lain. Sekali lagi, pencabutan hak politik harus berdasarkan putusan pengadilan dan peraturan undang undang bukan diatur berdasarkan PKPU.
Kedua, indikasi dis-harmoni antar lembaga. Aturan KPU ini juga menguatkan indikasi bahwa KPU terkesan arogan dan menciptakan konflik dengan lembaga lain, terutama BAWASLU.
Selama ini KPU dan Bawaslu adalah mitra, saling menguatkan, saling mengisi dan mendukung. Realitas sekarang, fenomena yang amat langkah yaitu dihadap hadapkan serta dibenturkan antara institusi KPU dan Bawaslu, sebelumnya ini ganjil terjadi.
Semestinya semua lembaga terkait penyelenggara dan pengawas pemilu melakukan koordinasi, terintegrasi satu sama lain, hal-hal substansial demi kesuksesan pemilu berkualitas bukan malah ingin gagah-gagahan.
Ketiga, dis-orientasi KPU sebagai penyelenggara Pemilu. KPU harus menempatkan diri sebagai penyelenggara yang mengatur urusan-urusan teknis pemilu.
Dengan fokus pada tugas pokok yang sudah digariskan (the right man in the right place) maka KPU tidak disibukkan untuk mengurusi hal-hal di luar tugasnya yang justru mengganggu konsentrasi dalam pelaksanaan tahapan pemilu. Dengan demikian, institusi KPU hanya sebagai penyelenggara pemilu tak boleh melampaui kewenangannya alias offside.
Aturan KPU yang menuai polemik dan telah dianulir oleh MA, mau tidak mau akan melahirkan arus balik perlawanan yang akan berdampak pada tiga elemen penting; Pertama, dampak sosial dan politik.
Kontroversi ini dikhawatirkan akan melahirkan perlawanan yang berpotensi melahirkan kekisruhan dan kekacauan politik dan terganggunya tahapan pemilu yang disebabkan terpecahnya konsentrasi KPU untuk mengurusi hal-hal lain (gugatan) dari pihak-pihak yang merasa dirugikan.
Kedua, dampak pada individu (eks napi koruptor). Aturan ini jelas sangat merugikan secara personal pada pihak-pihak yang terkait. Aturan ini dengan jelas telah merampas hak politik mereka sebagai warga negara tanpa putusan pengadilan, dengan kata lain mereka mendapat hukuman tambahan yang dibuat sendiri oleh KPU yang tentunya akan menjadi beban moral tersendiri.
Ketiga, dampak Kelembagaan. Arogansi KPU ini akan menjadi preseden buruk bagi koordinasi kelembagaan yang akan merugikan KPU sendiri, yang dikhawatirkan akan berdampak pada menurunnya kualitas pemilu dan demokrasi di Indonesia
Kita sangat tidak setuju, koruptor yang nyata sudah mengkhianati negara kembali diberi panggung politik, kembali memperoleh hak politik merampok uang negara. Kita sangat mendukung terobosan dan itikat baik dari KPU mencegah kembali agar koruptor pengkhianat negara tak kembali diberikan panggung politik.
Namun sekali lagi, aturan main PKPU tidak bisa mencabut hak politik mantan eks-korupsi menjadi caleg.
Mestinya KPU harus bersabar dulu, biar lah nantinya peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Undang Undang Pemilu yang mengaturnya lebih tegas, detail, teknis dan tidak multitafsir dalam rangka menghabisi riwayat politik koruptor pengkianat negara. Semoga!!! (Analis Politik/Sekaligus Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting)