www.domainesia.com
HeadLinePolhukam

Capres Abaikan Daerah Perbatasan

×

Capres Abaikan Daerah Perbatasan

Sebarkan artikel ini
Dari kanan Manejer Riset dan Pengabdian Masyarakat FEUI Fithra Faisal Hastiadi, Anggota DPD RI Intsiawati, Analisis Politik LIPI Ganewati Wuryandari dan Ketua Departeman Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (Binus) Tirta Nugraha Mursitama dalam Dialog Kenegaraan bertema "Pertahanan Terbaik adalah Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat, Betulkah" di DPD RI. Foto dardul/tk
Dari kanan Manejer Riset dan Pengabdian Masyarakat FEUI Fithra Faisal Hastiadi, Anggota DPD RI Intsiawati, Analisis Politik LIPI Ganewati Wuryandari dan Ketua Departeman Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (Binus) Tirta Nugraha Mursitama dalam Dialog Kenegaraan bertema "Pertahanan Terbaik adalah Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat, Betulkah" di DPD RI. Foto dardul/tk
Dari kanan Manejer Riset dan Pengabdian Masyarakat FEUI Fithra Faisal Hastiadi, Anggota DPD RI Intsiawati, Analisis Politik LIPI Ganewati Wuryandari dan Ketua Departeman Hubungan Internasional Universitas Bina Nusantara (Binus) Tirta Nugraha Mursitama dalam Dialog Kenegaraan bertema “Pertahanan Terbaik adalah Kesejahteraan dan Kemakmuran Rakyat, Betulkah” di DPD RI. Foto dardul/tk

JAKARTA – Anggota DPD RI Instiawati Ayus menilai visi misi kedua capres tidak memperhatikan atau telah mengabaikan daerah perbatasan. Padahal, masalah perbatasan itu sangat penting bagi Indonesia karena rakyat di perbatasan itu bisa frustrasi dan bahkan terancam lepas dari NKRI akibat pertumbuhan ekonomi negara ini tidak berimbas kepada mereka.

“Apa kita akan kehilangan wilayah lagi, seperti Sipadan dan Ligitan? Sementara Malaysia di perbatasan sudah membangun apa saja meski pulau itu belum jelas yang kemudian dikalim miliknya dan menang di PBB karena sudah dibangun Malaysia? Jadi, kemakmuran dan kesejahteraan rakyat di perbatasan harus diperhatikan,” kata Instiawati Ayus dalam dialog kenegaraan ‘Pertahanan terbaik adalah kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, betiulkah?’ di Gedung DPD RI, Rabu (25/6/2014).

Menurut Instiawati Ayus, kebijakan pemerintah pusat dan daerag pun belum ada yang berpihak pada daerah perbatasan. Kebijakan itu tidak menyentuh semua sektor, sehingga wajar kalau rakyat di perbatasan tergantung daerah tetangga untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. “Ibarat rumah, kalau rumah sendiri sudah bagus, kuat, dan semua kebutuhan pokok terpenuhi, maka tetangga pun tak akan berani mengganggu, mencaplok,” ujarnya.

Persoalannya kata Ayus, kebijakan yang lahir selama ini kebijakan politik. Karena itu dia tidak percaya pada angka-angka yang dikeluarkan oleh pemerintah terkait pertumbuhan ekonomi, jumlah rakyat miskin dan sebagainya. “Jadi, saya tidak percaya angka-angka itu, apalagi dari survei,” kata senator asal Riau itu.

Peneliti LIPI Ganewati Wuryandari mengatakan, tantangan Indonesia ke depan masih besar, yaitu mengenai pemerataan khususnya bagi rakyat di perbatasan. Persoalannya ada pada menejemen yang selama ini menggerogoti kebijakan pemerintah, semisal pelayanan birokrasi, baik birokrasi kesehatan, pendidikan, ekonomi dan lainnya yang justru menghambat investasi. ”Jadi, tak saja masalah kemakmuran dan kesejahteraan, melainkan ada aspek sosial politik, yang juga harus mengantisipasi tantangan global,” katanya.

Drone Tidak Cocok

Menurut Ganwati, tantangan pertahanan atau ketahanan nasional ke depan tidak saja dari dalam negeri tapi global, apalagi sudah terjadi prgeseran kekuatan ekonomi dunia dari Amerika Serikat ke Asia, khususnya Rusia, China, India dan Indoensia sendiri. Belum lagi pada tahun 2015 kita akan menghadapi pasar bebas Asean atau Asean Community.

“Indonesia sekarang ini dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6 % termasuk bagus dan menjadi salah satu negara besar, sehingga masuk ke -16 besar kekuatan ekonomi dunia. Pada tahun 2050 akan menjadi negara peringkat ke-5 terbesar dalam perekonomian global,” kata Ganewati.

Menurut Ganewati pertumbuhan ekonomi Indonesia moderat di tengah krisis, sehingga anggaran negara (APBN) terus meningkat, daya saing bagus dan menjadi negara pada peringkat ke -38 dari 50 negara dalam pertumbuhan ekonomi di dunia. “Indikator ini menjadi ketahanan nasional yang sangat baik dan harus terus dikembangkan,” ujarnya.

Sedangkan pengajar ekonomi Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal Hastiadi mengatakan, masalah Indonesia bukan di pertahanan, melainkan pada diplomasi ekonomi bukan diplomasi militer. Sebab, itulah yang dilakukan oleh Jepang dengan banyan membantu, investasi, dan atau menghibahkan kekayaannya untuk negara lain dan itu sebagai pertahanan suatu negara yang terbaik dan kuat.

“APBN kita bisa ditingkat lebih besar lagi dengan pertumbuhan ekonomi sampai 7 % dan anggaran militer sebesar 30 % dari uang negara tersebut, namun hal itu terwujud karena ada tekanan politik dari DPR RI (2010),” kata Fithra.

Menyinggung drone atau pesawat tanpa awak sebagai upaya mengamakan negara yang diusulkan Jokowi kata Fithra, itu tidak cocok karena Indonesia sangat luas. Ditambah lagi harga drone itu satunya Rp 1 triliun, sehingga kalau menempatkan ribuan drone di negara ini, maka dibutuhkan dana ribuan triliun rupiah. “Tapi, APBN kita hanya Rp 1842 triluin, maka tidak cukup.Jadi, kita akan berhadapan dengan ooportunity cost yang besar,” katanya. (chan/mun)