PARLEMENTARIA.COM – Ekonom Rizal Ramli menilai Pidato kebangsaan di Konvensi Rakyat Jokowi yang disampaikan Presiden Jokowi, di SICC, Bogor, Jawa Barat, Ahad (24/2/2019) kurang jujur karena tidak mengakui kegagalan yang terjadi. Pidato yang disampaikan Presiden Jokowi itu dinilai Rizal Ramli hanya pengulangan pidato-pidato sebelumnya.
“Seharusnya jika kesatria dia berani meminta maaf dan ganti strategi. Jika Widodo melakukan hal itu baru akan terlihat harapan dan optimisme baru. Tetapi tidak mau minta maaf dan ganti strategis sehingga kegagalan justru menebar pesimisme dan mengubur harapan,” kata Rizal Ramli di Jakarta, Senin (25/2/2019.
Padahal kata Rizal Ramli, inti dari kepemimpinan adalah menumbuhkan harapan dan optimisme.”Untuk itu, pemimpin harus mampu melakukan refleksi intropeksi dan kejujuran untuk mengakui kekurangan dan kegagalan untuk segera diubah sehingga memberikan harapan dan optimisme baru,” katanya.
Terkait dana desa, Rizal Ramli menegaskan, pengucuran dana desa bukanlah keinginan dan kebijakan pemerintahan Jokowi, tapi adalah amanat Undang Undang tentang Desa yang disahkan di era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyo (SBY). Tanpa UU tersebut, dana desa tidak bisa dikucurkan. “Dana desa yang dialokasikan Rp1 miliar per desa adalah amanat dari Undang Undang Desa yang disehakan tahun 2013, di era pemerintahan SBY,” tegas Rizal Ramli.
Undang-undang desa tersebut jelas Rizal Ramli, diperjuangkan oleh asosiasi asosiasi kepala desa, terutama parade Nusantara dengan ketua umumnya Sudir Santoso dan Ketua Dewan Pembina Rizal Ramli sendiri yang diperjuangkan sejak tahun 2011.
“Kemudian pembahasan undang-undang tersebut banyak dibantu oleh Marwan Jafar yang ketika itu Ketua Fraksi PKB dan Ahmad Muqowam yang waktu itu ketua Pansus dari PPPP serta dibantu oleh ketua DPR Marzuki Alie ketika itu,” ungkap Rizal Ramli.
Terendah Selama Reformasi
Rizal Ramli yang juga bekas Menko Kemaritiman Pemerintahan Jokowi tersebut menilai bahwa selama 4 tahun pemerintahan yang dipimpin Jokowi sekarang ini, tebaran optimisme Jokowi makin lama semakin memudar. Bahkan dalam banyak hal harapan akan kehidupan yang lebih baik makin memudar.
“Ekonomi stagnan 5 persen, daya beli masyarakat merost, pengurangan angka kemiskinan terendah sejak reformasi. Joko Widodo hanya mengurangi 450 orang miskin per tahun. Bandingkan dengan di era Presiden Gus Dur yang berhasil menurunkan kemiskinan 5,05 juta orang pertahun, Habibie 1,5 juta orang per tahun, Mega 570 orang per tahun dan SBY 840 orang per tahun,” ungkap Rizal Ramli.
Rendahnya penurunan kemiskinan di masa Presiden Widodo dinilai Rizal Ramli karena garis ekonominya yang meninggalkan Trisakti, terutama karena kebijakan impor yang ugal-ugalan dan penghapusan subsidi listrik 450 VA dan 900 VA.
“Ini sangat memukul daya beli golongan menengah bawah dan di tambah pula risiko makro ekonomi Indonesia semakin meningkat selama 2 tahun terakhir. Boro-boro kedaulatan pangan tercapai, yang terjadi justru impor ugal-ugalan yang sangat merugikan petani,” tegas Rizal Ramli.
Begitu juga kata Rizal Ramli di bidang kedaulatan keuangan. Boro-boro kedaulatan keuangan tercapai, justru utang yang semakin besar dengan yield yang merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Risiko makro ekonomi Indonesia meningkat 2 tahun terakhir dalam bentuk defisit neraca perdagangan (-8,57 USD tahun 2018) dan defisit transaksi berjalan (-9,1 milyar dolar AS pada quartel 4 2018). Ini defisit neraca transaksi berjalan yang paling parah atau terbukti sejak 4,5 tahun terakhir.
“Kegagalan Jokowi untuk mencapai kedaulatan pangan dan kedaulatan keuangan terjadi karena tidak ada konsistensi antara tujuan strategi kebijakan dan personalia. Tujuan untuk mencapai swasembada pangan dikhianati dengan kebijakan impor ugal-ugalan dan penunjukan pejabat yang doyan rente,” tegas Rizal Ramli.
Demikian juga dalam hal tujuan kemandirian keuangan, dikhianati dengan kebijakan pinjaman luar negeri yang jorjoran dan menunjukkan pejabat keuangan yang doyan memberikan yieid import beli tertinggi yaitu 2-3% diatas negara yang ratingnya lebih rendah dari Indonesia seperti Filipina dan Vietnam. (aam)