Daerah

Sumbar dalam Ancaman Stunting

ILUSTRASI

PARLEMENTARIA.COM – Sumbar tak lepas dari ancaman stunting atau kekurangan gizi kronis yang menyebabkan anak-anak mengalami gangguan pertumbuhan tinggi badan (kerdil). Persoalan ini tak boleh dipandang sebelah mata, karena akan mempengaruhi indeks modal manusia (IMM) secara keseluruhan. DPRD Sumbar mendesak agar persoalan ini mendapat perhatian khusus.

Data 2017, ada sekitar 36 persen anak Sumbar yang prevalensi stunting. Angka itu di atas prevalensi stunting nasional sebesar 29,6 persen. Selain di atas angka nasional, jumlah itu juga di atas toleransi maksimal angka stunting yang ditetapkan WHO sebesar 20 persen atau seperlima dari jumlah anak.

Kondisi terparah terjadi di Pasaman dan Pasaman Barat. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdes) yang dilakukan setiap lima tahun, terdapat 15.025 balita berisiko stunting di Pasaman dan 23.435 balita di Pasaman Barat. Sementara menurut survei yang dilakukan Dinas Kesehatan Sumbar tahun 2017 seperti yang dilansir Republika, 24 Januari 2018, terdapat 21,5 persen balita di Pasaman yang berisiko tumbuh dengan tubuh pendek. Sementara di Pasaman Barat, angkanya 19,1 persen. Sementara di Padang, ada sekitar 22,6 persen yang menderita stunting pada tahun 2017.

DPRD Sumbar mendesak agar persoalan ini mendapat perhatian khusus. Jika dibiarkan, bisa kian menjalar dan akut. Sebagai masalah dasar kehidupan pemerintah, khususnya Sumbar, menurut DPRD perlu bergerak cepat untuk memutus mata rantai stunting, yang akan berdampak pada banyak sektor di masa depan. Stunting dapat menghambat pertumbuhan ekonomi dan produktivitas pasar kerja. Selain itu, stunting bisa memperburuk kesenjangan hingga mengurangi 10 persen dari total pendapatan seumur hidup dan menimbulkan kemiskinan antar-generasi.

World Health Organization (WHO) mencatat 7,8 juta dari 23 juta balita Indonesia menderita stunting (sekitar 35,6%). Sebanyak 18,5% balita masuk kategori sangat pendek dan 17,1% masuk kategori pendek. WHO pun menetapkan Indonesia sebagai negara dengan status gizi buruk. Dilansir dari kompas.com, Indonesia duduk di peringkat ke-87 dari 157 negara dalam hal IDM yang amat dipengaruhi oleh masalah stunting.

Anggota DPRD Sumbar asal daerah pemilihan (Dapil) Padang Pariaman-Kota Pariaman, Endarmy, berharap dinas kesehatan (Dinkes) provinsi dan kabupaten/kota bergerak cepat menelusuri dan memberi penanganan terhadap balita terduga stunting. Selain 806 balita di Kota Pariaman sebagaimana pemberitaan Haluan pekan lalu, stunting diduga juga menjadi masalah di empat kabupaten/kota lain, yaitu Pasaman, Solok Selatan, Pasaman Barat, dan Kota Solok.

“Anggaran bidang kesehatan yang dialokasikan setiap tahun sudah di atas 10 persen dari total Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD), dengan kata lain sudah melebihi dari yang diamanahkan undang-undang. Oleh karena itu untuk kasus stunting, janganlah sampai jadi momok di tengah masyarakat,” kata Endarmy kepada Haluan, Senin (19/11).

Endarmy menyebutkan, berdasarkan penimbangan balita pada September 2018 di Kota Pariaman, diperoleh dugaan bahwa sebanyak 806 mengalami stunting. Kondisi itu menurutnya butuh penanganan cepat dan tepat karena akan berdampak pada terganggunya perkembangan kecerdasan dan kerentanan anak terhadap penyakit.

“Dinas kesehatan harus turun melihat kondisi di tengah masyarakat. Jika terbukti memang stunting, tangani segera, jika dibiarkan akan berdampak pada masa depan anak,” kata politisi perempuan Partai Nasdem itu, Senin (19/11).

Hal senada disampaikan Ketua Komisi V DPRD Sumbar, Hidayat. Ia menuturkan, Komisi V yang salah satu tupoksinya membidangi persoalan kesehatan mendukung penanganan cepat dan tepat terhadap masalah stunting, sebab dari laporan yang masuk ke komisi V, laporan stunting tidak hanya terjadi di Kota Pariaman, tetapi juga di empat kabupaten/kota lain seperti, Pasaman, Solok Selatan, Pasaman Barat, dan Kota Solok.

“Dalam konteks pembangunan kesehatan ini memang harus menjadi perhatian yang serius. Harus jadi gerakan bersama dalam penanganannya. Kalau tidak generasi kita akan jadi generasi yang kalah di masa depan, karena perkembangan otak dan fisik yang tidak sempurna,” kata politisi Gerindra itu.

Menurut Hidayat, penanganan stunting harus jadi gerakan bersama karena pemicu masalah kesehatan disebabkan banyak faktor, mulai dari asupan gizi anak yang juga berhubungan dengan persoalan pangan, sanitasi, serta pengetahuan masyarakat itu sendiri yang masih minim tentang pentingnya hidup sehat.

Oleh karena itu, katanya lagi, komisi V juga mendorong Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) sebagai salah satu upaya mengatasi stunting agar terselesaikan secara optimal.

Angka Sumbar Belum Terangkum

Dihubungi terpisah, Kepala Dinkes Sumbar, Merry Yuliesday mengatakan, kasus stunting memang terjadi karena banyak faktor. Setelah dilakukan penimbangan terhadap bayi empat kali selama setahun. Berdasarkan data terbaru dari Kota Pariaman, dapat disimpulkan bahwa tidak satu pun tinggi balita yang ditimbang memenuhi standar yang ditetapkan WHO.

“Namun hal itu bisa terjadi karena beberapa faktor lain. Kami mesti lihat juga kasus stunting itu terjadi di nagari mana saja, ekonomi dan budayanya bagaimana, pendapatan daerahnya bagaimana,” ujarnya, Selasa (20/11).

Menurut Merry, penanganan kasus stunting ke depan masih bisa menempuh beberapa cara. “Kalau dari kecil sudah mengalami stunting, ya, penanganannya dengan perbaikan gizi, asupan, dan pola asuh sesuai dengan faktor pemicu apa yang menyebabkan stunting,” ucap Merry lagi.

Namun begitu, Merry mengaku belum mengetahui secara umum kondisi stunting di setiap kota/kabupaten di Sumbar. Ia pun berjanji akan menelusuri kondisi tersebut ke setiap daerah dalam waktu dekan. “Saat ini saya sendiri belum tahu kondisi stunting di masing-masing daerah. Mungkin nanti, ditanya dulu kepada ahli gizi dan dinas kesehatan masing-masing daerah, karena dinkes provinsi kan terima laporan dari daerah itu,” kata Merry lagi.

806 Balita Pariaman

Sebelumnya, Kepala Dinas Kesehatan Kota Pariaman, Bakhtiar kepada Haluan, Minggu (11/11) mengatakan, pihaknya telah melakukan penimbangan terhadap 6.559 balita di Kota Tabuik itu, dengan hasil 12,03 persen (806 orang) di antaranya teridentifikasi mengalami gejala stunting.

“Jumlah balita stunting ada di empat kecamatan, di Kecamatan Pariaman Timur sebanyak 117 balita (1.78%), di Pariaman Tengah sebanyak 415 balita (6,33%), di Pariaman Selatan sebanyak 95 balita (1.45%), dan di Kecamatan Pariaman Utara sebanyak 179 balita (2.73%),” kata Bakhtiar.

Terkait besarnya angkat tersebut, Wali Kota (Wako) Pariaman, Genius Umar meminta secara tegas dinas dan pihak terkait untuk memberikan penanganan secara cepat dan tepat sehingga Kota Pariaman lekas lepas dari persoalan tersebut. Hal itu ia sampaikan dalam Rapat Koordinasi (Rakor) Kesehatan Daerah Kota Pariaman 2018 di Balairung Rumah Dinas Wako Pariaman, Kamis 8 November 2018 lalu.

“Pembangunan kesehatan merupakan investasi utama bagi pembangunan sumber daya manusia. Untuk itu, diharapkan kesadaran, kemauan, serta kemampuan setiap orang untuk dapat berperilaku hidup sehat, guna mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Masalah balita stunting yang dibiarkan ini akan berdampak kepada menurunnya tingkat kecerdasan, kerentanan terhadap penyakit, menurunnya produktifitas, hingga menghambat pertumbuhan ekonomi, meningkatkan kemiskinan, dan ketimpangan,” kata Genius.

Risiko anak bertubuh pendek ternyata berhulu dari minimnya fasilitas jamban di Pasaman dan Pasaman Barat. Masyarakat masih banyak yang buang hajat di sungai atau fasilitas MCK (Mandi, Cuci, Kakus) dengan kebersihan yang minim. Higienitas fasilitas MCK yang tidak terjamin memicu munculnya penyakit diare atau menceret.

Stunting memang tidak lepas dari kondisi budaya masyarakat. Meski secara ekonomi orang tua memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan gizi anak, faktor lingkungan dan higienitas fasilitas MCK yang minim tetap bermuara pada ancaman penyakit diare. (haluan/chan)

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top