PARLEMENTARIA.COM – Anggota DPD RI GKR Hemas meminta Pemilu 2019, baik calon legislatif (caleg) maupun pasangan calon presiden (capres) dalam berkampanye untuk menahan diri tidak mengedepankan politik identitas dan tidak menyerang lawan politik.
“Kampanye yang dilakukan dengan cara menyerang lawan politik atau mengedepankan politik identitas cenderung memicu konflik dan permusuhan,” kata senator dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) itu berkaitan dengan Hari Toleransi Internasional tanggal 16 November lalu.
Politik identitas kata Ratu Hemas, hanya memunculkan politik yang mementingkan relasi emosional seraya merendahkan pertimbangan rasional. Sehingga pilihan yang diambil lebih karena bersifat dorongan primordial yang kurang mengedepankan pilihan karena pertimbangan kemaslahatan umum.
“Pilihan yang berdasarkan identitas dilakukan karena relasi ras, etnis, kedaerahan, dan juga karena kesamaan keyakinan agama. Partai politik dan kandidat di pilpres agar mampu menghadirkan visi, dan program sehingga memungkinkan pemilih memberi petimbangan yang lebih rasional untuk memilih,” jelas Ratu Hemas.
Dia mengharapkan di tahun politik ini tidak ada peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan eskalasi intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat rentan. Karena itu dia meminta penyelenggara pemilu menegakan aturan dengan ketat.
“KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu harus lebih ketat menegakkan aturan. Jangan biarkan terhadap isu-isu SARA. Begitu pun penegakan hukum harus adil dan tidak terkesan tebang pilih,” kata Ratu Hemas.
Dikatakan, dalam merefleksikan Hari Toleransi Internasional, diversitas budaya dan agama adalah sebuah keniscayaan, bukan tujuan untuk menyeragamkan. “Potensi konflik jelas ada, dan tugas kita semua adalah bagaimana dapat meminimalisir potensi itu agar tidak menjadi konflik yang sesungguhnya,” ujarnya.
Pluralisme harus pertama kali dikaitkan dengan Pancasila, sebagai ideologi berbangsa dan bernegara. berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah salah satu hasil dari kontrak politik dari para pendiri republik ini. Dimana, salah satu konsensusnya adalah Indonesia dibangun atas asas Pancasila. Bukan atas ideologi politik apa pun, termasuk ideologi agama.
Para Pendiri Republik bercita-cita membentuk Indonesia atas dasar lima sila dalam Pancasila. Mengembalikan penghargaan terhadap kebhinnekaan itulah akhirnya persatuan Indonesia bisa diperkuat kembali.
“Jika pun pluralisme dikaitkan dengan agama, sesungguhnya tidak ada satu agama pun yang menolak prinsip-prinsip pluralisme, seperti toleransi, saling menghormati, menghargai perbedaan dan lain-lain. Hanya saja pemahaman ummat beragama terhadap ajaran agamanya yang perlu diperbaiki,” terangnya.
Hal tersebut kata dia, sudah dibuktikan dalam sejarah kehidupan berbangsa, bahwa kemajemukan historis dan budaya lokal serta keanekaragaman daerah tidak bisa dipaksakan menjadi satu pola yang serba seragam. Keutuhan sebagai satu bangsa, justru dimaksudkan dibangun di atas kemajemukan.
“Kalau kita mengingkari keragaman atau kemajemukan ini, maka akan muncul benih-benih perpecahan (disintegrasi bangsa), seperti yang sudah terbukti selama tiga dasa warsa terakhir,” ungkapnya. (chan)