PARLEMENTARIA.COM – Kerinduan warga transmigran yang tinggal di Kecamatan Lalan, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, akan pertunjukan wayang kulit terobati sudah. Pada Senin malam, 5 November 2018, mereka menikmati kembali pertunjukan yang popular di kalangan masyarakat suku Jawa itu. Sebagai kaum transmigran, mereka jarang menikmati seni dan budaya dari kampung asal-usulnya. Tak heran saat pertunjukan wayang kulit dengan lakon ‘Petruk Dadi Ratu’ digelar di lapangan Desa Tri Mulya, masyarakat dari berbagai desa berduyun-duyun datang menonton pertunjukan itu.
Saking antusiasnya melihat pertunjukan, ratusan kursi undangan yang tersedia tidak mencukupi sehingga tenda besar yang berdiri dikerumuni ribuan orang. Pertunjukan wayang kulit yang diadakan di desa yang masuk kawasan P9, pembagian wilayah transmigrasi pada masa lalu, untuk mensosialisasikan Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika atau yang lebih popular disebut dengan Empat Pilar.
Di hadapan masyarakat, pimpinan Badan Sosialisasi MPR, Edhy Prabowo, mengatakan acara itu digelar oleh MPR. Diungkapkan, dirinya senang karena masyarakat antusias melihat pertunjukan wayang kulit sambil mendengar pesan-pesan Empat Pilar. “Ini menandakan masyarakat di sini menyukai wayang kulit”, ujar anggota MPR dari Fraksi Partai Gerindra itu.
Menyampaikan pesan Empat Pilar lewat pertunjukan wayang kulit, menurut Edhy merupakan salah satu metoda sosialisasi. Dirinya berharap pertunjukan malam itu dampat memberi manfaat bagi masyarakat, “pesan yang ada dalam pertunjukan selanjutnya diterapkan dalam kehidupan keseharian”, harapnya.
Pria kelahiran Muara Enim, Sumatera Selatan, itu mengakui meski di kawasan transmigran mayoritas penduduknya berasal dari Jawa namun masyarakat dari suku dan etnis yang lain juga ada. “Malam ini berkumpul masyarakat dari beragam etnis dan suku”, paparnya. Dirinya menyebut pertunjukan wayang kulit malam itu diliputi nuansa ke-bhinneka-an. “Sehingga kegiatan ini sesuai dengan tujuan acara dilakukan, yakni merawat rasa ke-bhinneka-an kita”, ujarnya. Mantan atlet silat itu menyampaikan pesan negara ini dibangun oleh para pendiri bangsa untuk semua bukan untuk salah satu golongan. “Inilah makna persatuan dan ke-bhinneka-an”, tuturnya.
Sebagai masyarakat yang beragam diakui hal demikian mempunyai potensi perpecahan. Untuk itu dirinya dengan tegas menyebut semua tindakan yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. “Kalau bertentangan dengan Pancasila berarti melawan hukum”, ucapnya. Semua tindakan, harus sesuai dengan UUD NRI Tahun 1945. Aturan ini disebut sebagai hukum tertinggi di Indonesia. Hukum yang ada menurutnya tak boleh bertentangan dengan UUD. “Kalau ada hukum yang bertentangan dengan konstitusi maka hukum itu menyalahi aturan”, ujar pria yang pernah aktif di HKTI itu. Dirinya mencontohkan, bila ada Perda bertentangan dengan UUD maka aturan itu wajib dibatalkan. “Pun demikian bila ada UU yang dibuat bertentangan dengan UUD maka wajib diganti”, paparnya.
Bagi Edhy ini penting sebab kita harus menyadari bahwa bangsa Indonesia yang memiliki luas dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote, merupakan bangsa yang satu dalam wilayah NKRI.
Usai dirinya memaparkan Empat Pilar, diserahkanlah tokoh wayang dalam lakon itu kepada sang dalang Ki Purwoko Purwo Pandoyo. “Penyerahan tokoh lakon ini sebagai tanda pagelaran dimulai”, ujarnya yang disambut tepuk tangan masyarakat. (chan)