[JAKARTA] Semakin banyak masyarakat melontarkan tuntutan penerapan kembali UUD 1945 seperti sebelum diamandemen. MPR RI sebagai lembaga yang berwenang mengamandemen UUD
1945 menampung semua aspirasi masyarakat yang masuk.
“Selain mengamandemen UUD, tugas lainnya adalah menampung dan menyerap aspirasi. Karena itu, kami menampung pikiran-pikiran yang berkembang, termasuk kembali ke UUD 1945,” kata Ma’ruf, usai acara Media Expert MPR RI, di Pangkal Pinang, Bangka Belitung, seperti siaran pers yang diterima Parlementaria.com, Jumat (16/12) pagi.
Dikatakan, aspirasi masyarakat (asmas) bukan sebagai pengambil kebijakan. “Apa bedanya kembali ke UUD 1945 dengan mengubah UUD 1945? Kan itu pikiran masyarakat saja. Untuk melakukan itu, perlu proses dan mekanisme yang panjang serta konstitusional.”
Dijelaskan, pasal 37 UUD 1945 ada lima ayat yang mengatur mekanisme hukum dan yuridis konstitusional yakni harus diusulkan anggota MPR minimal sepertiga, disetujui 50 persen plus satu.
“Khusus NKRI, tidak boleh ada perubahan. Semua ada aturannya. Jadi yang penting yuridis konstitusional. Kalau soal pikiran berkembang, itu kan pendapat-pendapat saja. Tapi jalannya panjang,” jelas Ma’ruf.
Dengan demikian, kata dia, pemberlakuan kembali UUD 1945 ke naskah asli bukan hal mudah.Bahkan harus melalui pengkajian. Kenapa ada lembaga pengkajian di MPR, kan seluruh asmas dikaji dulu.
“Konseptualisasi dari pikiran masyarakat yang sederhana diformulasi sehingga bisa menjadi bahan materi yang bisa dimintakan persetujuan oleh para anggota MPR, apakah setuju dengan konsep ini atau tidak,” demikian Ma’ruf Cahyono. (art)