JAKARTA– Tidak ada pembatasan terhadap warga negara untuk memberikan hak suara pada pemilihan umum baik itu pemilu legislatif maupun pemilu presiden termasuk dari anggota Polri maupun TNI.
Itu dikatakan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoeva dalam diskusi ‘Tabayyun Putusan MK Tentang Pemilu’ di ruang Fraksi PKB DPR RI, Kamis (15/12). Juga hadir Lukman Edy, Fathan Subkhi, Bagdja. Acara dibuka oleh Ketua FPKB DPR, Ida Fauziyah,
Diingatkan, perundangan-undangan manapun di Indonesia bisa dijudicial review ke MK. Karena azas MK adalah keadilan untuk seluruh warga Indonesia.
“Kalau masyarakat minta judicial review, MK akan membahasnya untuk itu dengan selalu berpegang pada keadilan,” tegas mantan anggota Komisi Hukum DPR RI ini.
Dikatakan, setelah dirinya masuk MK, baru mengetahui bahwa UU yang diproduknya saat menjadi anggota DPR dan juga ikut membuat UU di DPR sudah merasa yakin pasal-pasal itu tidak perlu dirubah, tapi ternyata setelah di MK pasal itu perlu juga dirubah bahkan diperbaiki.
“Begitu juga soal Parliamentary Threshold (PT) ini saja setelah di bahas di MK menjadi panjang dan harus benar-benar mengarah satu titik, tidak bias, sehingga nantinya akan sampai pada satu titik keadilan,” ujar politisi PBB itu.
Pada Pemilu legislatif 2014 yang dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka dengan penetapan calon berdasarkan perolehan suara terbanyak, bukan berdasarkan nomor urut.
“Di sini MK mempunyai pemikiran jika sistem penetapan calon terpilah itu hanya berdasarkan nomor urut, unsur ketidakadilan akan terjadi.”
Contohnya, salah satu calon nomor satu hanya dapat 5 persen sedangkan yang nomor `19 dapat 70 persen suara, jika sistem nomor urut, yang akan terpilih adalah nomor satu. Sedangkan yang meraih suara terbesar gagal ke DPR.
Padahal, kata dia, pemilih memberi suara kepada calon karena berharap kemampuan caleg itu sebagai legislatif bisa mewakili dan memperjuangkan aspirasi daerahnya.
Karena itu, dengan UU Pemilu itu bisa saja untuk rasa keadilan diterapkan, dalam hal pemilu anggota DPR dengan hanya mencoblos tanda gambar, bukan nama. “Rasa keadilannya untuk suara terbanyak bagaimana?” katanya mempertanyakan.
Menyinggung hak pilih soal TNI/Polri untuk ikut dalam pemilu legislatif dan presiden, menurut Hamzan, jika mengacu pada UUD, tidak ada pembatasan bagi rakyat untuk memberikan hak suara pada pemilu.
“Dulu memang ada peraturan perundang-undangan menegaskan TNI/Polri netral pada pemilu, tetapi kini itu sudah tidak relevan lagi.”
Jadi, kata dia, atas permintaan petinggi TNI/Polri yang masih meminta waktu sampai 2019 untuk hak pilih dalam Pemilu, itu bisa saja dilakukan dengan menggugat (judicial review) ke MK untuk menegaskan mereka mempunyai hak untuk ikut memberi suara dalam Pemilu dan Pilpres.
Pada kesempatan serupa, Lukman Edy menyebutkan, masih banyak materi dari revisi RUU Pemilu yang bisa dijudicial review ke MK. Salah satunya soal persentase PT untuk partai politik dalam mengajukan calon presiden.
Usulan pemerintah terkait sistem Pemilu Legislatif bersifat proporsional terbuka terbatas dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu adalah langkah mundur demokrasi.
“Kita tidak akan menyetujui bila pemerintah memaksa mengubah sistem. Kita akan menentang kalau ada keinginan pemerintah mengubah sistem terbuka menjadi terbuka terbatas.”
Menurut Lukman, sistem pemilihan terbuka terbatas menyerupai pemilihan tertutup, yaitu partai menentukan pemenang Pileg berdasarkan nomor urut bukan berdasarkan suara terbanyak.
Sistem pemilihan terbuka terbatas, tegas dia, bertentangan dengan keputusan MK yang menyebut sistem Pileg harus terbuka. “Ya, Substansinya menentang keputusan MK. Jadi, ini telah melanggar konstitusi,” ungkapnya.
Seperti diketahui, Pemerintah telah mengajukan draf RUU Penyelenggara Pemilu kepada DPR, 21 Oktober lalu. Pada pasal 138 ayat 2, tertulis, Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka terbatas.
Pada ayat ke 3 menyebut Sistem Proporsional terbuka terbatas sebagaimana dimaksud ayat 2 merupakan sistem Pemilu yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar calon yang terbuka dan daftar nomor urut calon yang terikat berdasarkan penetapan partai politik. (art)