JAKARTA– Fraksi PKS DPR RI menghargai kerja keras pemerintahan pimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena dalam kondisi ekonomi dunia yang kurang baik pemerintah masih bisa menjaga pertumbuhan 5 persen.
Namun, kata Ketua Fraksi PKS DPR RI, Jazuli Juwaini dalam acara Refleksi Akhir Tahun dan Outlook Ekonomi-Bisnis 2017 di Gedung DPR RI, Rabu (14/12), kita juga tidak menutup mata bahwa secara kualitas ekonomi Indonesia mengalami penurunan. Bahkan, jauh dari target 7 persen seperti janji Jokowi-JK.
Seperti diketahui, kata Jazuli, sampai Triwulan III-2016, pertumbuhan ekonomi nasional baru mencapai 5,02 persen. Sampai akhir tahun diprediksi pertumbuhan mencapai 5,037 persen.
“Itu juga masih dibawah target pertumbuhan yang dipatok 5.2 persen dalam APBNP-2016. Ini menandakan 2016, pertumbuhan ekonomi nasional masih stagnan, dengan kata lain pemerintah belum bekerja secara efektif dalam mengawal perekonomian nasional,” kata wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Provinsi Banten tersebut.
Meski demikian, lanjut anggota Komisi III DPR RI ini, Fraksi PKS juga tidak mau hanya berpatok pada angka-angka pertumbuhan lalu abai pada dampaknya terhadap kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia.
Karena itu, catatan tentang kualitas pertumbuhan terhadap kesejahteraan rakyat dan penurunan kemiskinan sangat penting untuk dicermati dan didalami. “Berdasarkan kajian tim ekonomi Fraksi PKS, pertumbuhan ekonomi rendah kualitasnya.”
Rendahnya pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari sedikitnya tenaga kerja yang terserap. Pertumbuhan ekonomi itu banyak ditopang sektor jasa yang minim penyerapan tenaga kerja, bukan lagi bersumber dari sektor manufaktur dan sektor pertanian. Kedua sektor itu kaya akan padat karya. Akibatnya dampak pada penurunan angka kemiskinan juga tidak signifikan.
Lapangan usaha yang mencatat pertumbuhan tertinggi dan mendorong pertumbuhan ekonomi selama dua tahun terakhir bukanlah lapangan usaha padat karya, yaitu: Sektor Informasi dan komunikasi (9,2%), jasa keuangan dan asuransi (8,83%) dan transportasi – pergudangan (8,2%).
Lebih jauh dikatakan, struktur perekonomian nasional pun masih bertumpu pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga, sehingga sangat rentan terhadap gejolak inflasi.
Dikatakan, Pemerintah boleh bangga, inflasi umum cukup rendah. Namun, pemerintah perlu memperbaiki pergerakan inflasi harga barang-barang bergejolak (volatile food), yang jauh di atas inflasi umum.
Kelompok utama penyumbang inflasi itu adalah kelompok bahan makanan. Pemerintah seharusnya sudah memiliki jurus-jurus jitu untuk mengelola inflasi dari sisi penawaran (supply side), karena inflasi ini telah terjadi sejak lama.
Sayangnya, lanjut Jazuli, pengelolaan inflasi lebih disasar melalui kebijakan moneter yang justru kontraproduktif terhadap sektor rill. Dalam operasional, saat inflasi tinggi, bank sentral akan menyedot dana dari perekonomian (terutama perbankan), sehingga menyebabkan suku bunga sulit untuk turun.
Dengan prediksi pertumbuhan ekonomi tahun ini 5,037 persen terjadi penurunan pengangguran terbuka dari 7,56 juta orang (6,18%) menjadi 7,02 juta orang (5,5%). Dengan demikian, elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 1 persen pertumbuhan ekonomi menyerap 107.206 tenaga kerja.
Elastisitas itu terus menurun bila dibandingkan dengan elastisitas tahun-tahun sebelumnya, pada 2014 elastisitas pertumbuhan ekonomi terhadap penciptaan lapangan kerja adalah 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat menyerap 260.000 tenaga kerja, bahkan pada 2004 setiap 1 persen pertumbuhan menyerap 400.000 tenaga kerja.
“Hasil ini masih jauh dari janji Nawacita Presiden saat kampanye yang menargetkan teciptanya lapangan kerja untuk 2 juta orang pertahun, sehingga totalnya adalah 10 juta orang selama 5 tahun pemerintahan. Padahal janji ini sangat penting direalisasikan untuk peningkatan kesejahteraan sekaligus penurunan kemiskinan.”
Bisa dikatakan, investasi besar-besaran di sektor infrastruktur, bahkan menyerap semua resources mulai dari anggaran APBN, SDM, menjadi prioritas pemerintah dalam dua tahun terakhir, ternyata tidak mampu banyak menyerap tenaga kerja besar dan sekaligus menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi.
Paket kebijakan ekonomi yang sudah dikeluarkan pemerintah nyatanya juga belum efektif mendorong perekonomian ke arah yang lebih baik, salah satunya terkait implementasi paket-paket tersebut di daerah sejalan dengan kondisi daerah.
Bahkan, kata Jazuli, Fraksi PKS menilai bahwa paket yang berisi kelonggaran kepemilikan usaha yang dimiliki investor asing (Daftar negatif investasi) bisa menjadi “bom waktu” baik bagi tenaga kerja di Indonesia maupun bagi perekonomian nasional yang diamanatkan konstitusi harus dikuasai negara dan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Fraksi PKS menilai, buruknya kinerja ekonomi, tidak bisa dilepaskan dari lemahnya perencanaan APBN khususnya sektor perpajakan dalam dua tahun terakhir, memaksa pemerintah untuk melakukan pemotongan anggaran Rp. 133,8 triliun, agar tidak menimbulkan defisit anggaran yang melebihi ketentuan perundang-undangan 3 persen.
Kebijakan ini merupakan pemangkasan kedua, setelah pemotongan pertama yang disetujui dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) 2016 sebesar Rp 50,01 triliun. Kebijakan ini, berdampak terhadap pemotongan anggaran belanja pusat Rp. 65 triliun dan penundaan anggaran belanja daerah termasuk dana desa Rp. 68,8 Triliun. Dampak dari pemotongan ini, bisa dipastikan akan mempengaruhi kinerja Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. (art)