JAKARTA – Ahli hukum pidana Universitas Al-Azhar Indonesia (UAI), DR Suparji Ahmad menilai dakwaan jaksa penuntut umum dalam kasus dugaan penistaan agama dengan terdakwa Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama tidak memperdalam materi dakwaannya.
Materi dakwaan JPU seolah-olah mempertahankan penyidikan Polri, perbandingan hukum yang diajukan kuasa hukum antara dakwaan dengan eksepsi/pembelaan hingga contempt of court (penghinaan terhadap pengadilan).
“Contempt of Court karena menuding majelis hakim bersidang karena ada paksaan massa. Disamping menyoal gelar perkara kendati diyakini setiap sidang dimulai boleh diartikan telah selesai pula prosesi yang mengikutinya seperti terbukanya praperadilan,” ujar ketua Suparti, kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/12)
Dijelaskannya, Ahok dan kuasa hukumnya menyodori UU nomor 1 PNPS tahun 1965 yang di dalamnya terkait Pasal 156 dan 156 (a) tentang penistaan agama yang bisa dikompromikan . Tetapi hal itu bertentangan dengan pasal-pasal dalam KUHP yang mempertimbangkan tuntutan hukuman tertinggi jika ada akumulasi lebih dari satu pasal.
“Walau memang diperbolehkan seharusnya majelis hakim menjadi wasit ketika terlalu panjang eksepsi (keberatan), yang saat itu juga memang bukan waktunya karena seolah-olah jawaban dakwaan itu sudah dikondisikan bersama,” ujarnya.
Secara terpisah, pakar hukum tata negara Margarito Kamis menilai tata cara persidangan tidak ada yang dilanggar dari persidangan tersebut. “Tidak salah terdakwa langsung mengajukan eksepsi dalam sidang perdana. Karena sudah diberitahukan dakwaan jaksa ketika hendak disidangkan, sehingga sedari awal terdakwa dapat mengajukan eksepsi,” kata Margarito.
Hanya saja Margarito melihat eksepsi yang disampaikan Ahok sudah masuk dalam pokok perkara. “Eksepsi tadi sudah menyangkut pokok perkara. Pada hal secara hukum, eksepsi hanya menyangkut unsur-unsur formil, termasuk kompetensi peradilan.Tetapi secara keselurhan, tidak ada yang salah,” ujar Margarito.
Nicholay Aprilindo, pengamat poitik dari Universitas Kristen Satya Wacna (UKSW) menilai sidang perdana Ahok merupakan politisasi hukum dan menjadikan prosesi itu sebagai panggung pencitraan membangun ketidakbersalahan terdakwa Ahok yang semestinya dihentikan majelis hakim karena ranah pembacaan dakwaan disatukan waktunya dengan eksepsi/pembelaan.
“Sah-sah saja terdakwa dan kuasa hukumnya mengungkap pembelaan tetapi waktunya pada sidang berikutnya. Yang terjadi seolah-olah sidang membangun pencitraan politik karena berisi cerita karir Ahok sejak di Bangka Belitung, yang tidak ada relevansinya dengan pernyataan Ahok saat orasi penistaan Al-Qur’an Surat Al-Maidah ayat 51, yang diperkuat niatannya dengan buku Ahok terkait hal serupa tahun 2008,” ujarnya kepada wartawan. (esa)